
Keamanan pangan masih menjadi ancaman serius di tingkat global. WHO memperkirakan terdapat sekitar 2 juta korban terutama anak-anak yang meninggal dunia setiap tahunnya akibat makanan yang tidak aman. Demikian juga di Indonesia, keamanan pangan menjadi persoalan serius karena masih banyak kasus keracunan makanan maupun penyakit akibat bahan pangan yang tidak aman.
“Masih banyak makanan yang terkontaminasi bakteri, toksin, ataupun mengandung bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan manusia yang beredar di Indonesia,” kata Pemerhati Kemanan Pangan UGM, Prof.Dr.Ir. Endang Sutriswati Rahayu, Kamis (12/11) di Kampus UGM.
Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM ini menuturkan keamanan pangan di Indonesia sebenarnya telah menunjukkan tren meningkat. Masyarakat dan para pelaku usaha dalam beberapa tahun terakhir sudah mulai memiliki kesadaran akan keamanan pangan ini.
“Kendati begitu masih terdapat sejumlah pekerjaan rumah yang harus segera ditangani,” tandasnya.
Salah satu isu yang harus segera ditindaklanjuti adalah adanya cemaran pangan di tingkat usaha mikro kecil menengah (UMKM). Hal tersebut dikarenakan penanganan produk pangan yang belum memanfaatkan teknologi dan sumber daya manusia terdidik.
“Pelaku usaha harus memperhatikan persyaratan dan standar keamanan produk pangan agar tidak membahayakan kesehatan masyarakat,” jelasnya di Hari Kesehatan Nasional yang jatuh tepat pada hari ini, 12 November 2015.
Tidak hanya itu, upaya pencegahan produksi makanan yang dibuat dengan penambahan bahan-bahan kimia yang berbahaya juga harus digalakkan. Seperti diketahui, saat ini masih banyak makanan yang mengandung zat kimia berbahaya seperti formalin, boraks, zat pewarna tekstil yang beredar bebas dan banyak dikonsumsi masyarakat terutama anak-anak.
“Kasus penambahan bahan non-pangan ke dalam bahan makanan ini patut menjadi perhatian karena masih banyak dijumpai di level masyarakat bawah,” kata wanita yang akrab disapa Trisye ini.
Data Badan Pengawas Obat dan Makanan menunjukkan pada tahun 2001-2013, baru ada 54 persen Industri Rumah Tangga (IRT) yang sudah mendapatkan nomor Pangan Industri Rumah Tangga-PIRT dari 1.835 IRT yang disurvei pada tahun 2011. Selanjutnya, ada sedikit peningkatan di tahun 2012 menjadi 59 persen dan tahun 2013 menjadi 67 persen. Dengan kata lain, masih ada setidaknya 33 persen IRT yang belum bisa menerapkan industri yang baik dan benar.
“Padahal 99 persen produk makanan yang dijual di pasaran adalah produksi UMKM,” katanya.
Meskipun berbagai upaya pencegahan telah dilakukan oleh pemerintah bekerjasama dengan pihak-pihak terkait, Trisye tetap mengimbau masyarakat untuk ikut terlibat langsung dalam menjaga keamanan pangan ini. Masyarakat diminta untuk lebih jeli dalam memilih makanan yang akan dikonsumsi.
“Kontrol masyarakat harus semakin diperkuat. Kalau tidak aman ya jangan dibeli,” tegasnya.
Masyarakat bisa memulai dengan memilih makanan yang aman dan juga sehat. Dengan mengonsumsi makanan yang aman dapat mencegah berbagai kemungkinan munculnya penyakit sehingga akan mengurangi beban ekonomi akibat biaya pengobatan dan perawatan.
“Keamanan pangan memiliki dampak besar terhadap kesehatan masyarakat. Kalau makanan tidak aman akan menimbulkan penyakit sehingga menambah beban biaya kesehatan nasional,” jelasnya.
Kembali ditegaskan Trisye, persoalan keamananan pangan merupakan tanggung jawab bersama, termasuk perguruan tinggi. Karenanya, FTP UGM berupaya berkontribusi dalam menjawab tantangan di bidang keamanan pangan dengan melakukan penguatan riset di bidang tersebut. Untuk itu FTP UGM membentuk pusat unggulan bidang mikotoksin atau Center of Excellence on Mycotocxin Studies pada 18 September 2015 lalu.
“Pusat unggulan ini diharapkan bisa membantu peningkatan kualitas dan keamanan produk pangan terutama pada pelaku usaha kecil menengah,” pungkasnya. (Humas UGM/Ika)