
Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Dr. Satyawan Pudyatmoko, S.Hut., M.Sc., menegaskan Indonesia perlu mengembalikan tata kelola hutan yang berkeadilan untuk kesejahteraan rakyat. Pasalnya, tata kelola hutan Indonesia saat ini masih jauh dari kata ideal. Hal ini ditandai dengan masih rendahnya produktivitas hutan, minimnya inovasi untuk mendukung industri kehutanan, serta merebaknya konflik tenurial (penguasaan lahan) yang belum terselesaikan.
“Kebakaran hutan dan lahan terutama di lahan gambut yang mengakibatkan bencana kemanusiaan merupakan salah satu gejala dari kekeliruan yang fundamental dalam tata kelola hutan ditinjau dari aspek ekologisme sosial ekonomi, dan hukum,” jelasnya di Fakultas Kehutanan UGM, Kamis (12/11).
Menyampaikan Laporan Tahunan Dekan Fakultas Kehutanan, Satyawan menuturkan tata kelola hutan yang baik wajib melibatkan peran serta berbagai stakeholder. Termasuk di dalamnya para birokrat, akademisi, aktivis LSM, pengusaha, dan juga masyarakat Indonesia.
“Fakultas Kehutanan UGM juga berusaha berkontribusi, memberikan resep yang mujarab, untuk mengurai berbagai masalah kehutanan,” katanya.
Melihat kondisi tersebut Fakultas Kehutanan terus mendorong pengembangan riset-riset aplikatif yang bermanfaat dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dan memberikan solusi masalah-masalah strategis nasional. Salah satunya, pengembangan teknik silvikutur intensif (SILIN) untuk meningkatkan produktivitas hutan Meranti dan Jati. Pada 2014-2015 bersama mitra pihaknya telah menyiapkan 30. 000 bibit unggul jati Mega Wanagama yang dibagikan secara gratis kepada 40 Kelompok Tani Hutan Rakyat di 12 kecamatan di Kabupaten Gunungkidul dan Bantul. Selain itu, diterapkan pula aplikasi teknologi dan kebijakan pengembangan Integrated Forest Farming System (IFFS) di KPH Randublatung, Ngawi, Cepu, Pati dan Banyumas Timur.
Sementara itu, di bidang pengabdian kepada masyarakat, Fakultas Kehutanan berupaya memberikan advokasi-advokasi dan pembangunan jejaring yang kuat untuk kemajuan bangsa. Beberapa langkah advokasi yang telah dilakukan antara lain advokasi kebijakan dalam rangka revisi PP 72/2010 tentang Perum Perhutani, advokasi kebijakan masa depan ekosistem Jawa, advokasi kebijakan penyiapan RUU Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan. Selain itu, terlibat secara aktif dalam Tim Gambut UGM memberikan rekomendasi kepada Presiden RI menangani kebakaran hutan dan lahan secara komprehensif.
“Terdapat 66 judul penelitian dan 35 kegiatan pengabdian masyarakat yang telah dilakukan pada tahun 2015 ini,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Satyawan mengatakan bahwa peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama di sekitar hutan menjadi salah satu tantangan berat bangsa. Untuk mengatasi permasalahan itu dapat dilakukan dengan optimalisasi penggunaan lahan hutan sehingga mempunyai produktivitas tinggi namun tetap memperhatikan kelestarian kemampuan lingkungan.
Untuk mengembangkan konsep IFFS sebagai salah satu bentuk optimalisasi lahan hutan, imbuh Satyawan, diperlukan berbagai pendekatan yang lebih integratif mencakup pilar hulu-hilir yang diuji dan dikembangkan pada skala luas serta bersifat kompetitif. Riset IFFRS diarahkan pada keterpaduan hutan dalam laboratorium dan hutan di luar laboratorium.
Adanya Teaching Agroforestek yang dikembangkan UGM akan menjadi pintu masuk untuk integrasi berbagai disiplin ilmu dalam pengembangan dan hilirisasi iptek. Dengan model ini diharapkan dapat mendukung tercapainya pengelolaan kawasan yang lebih kompetitif namun mampu memanggul pilar kelestarian lingkungan-kesejahteraan petani-bisnis yang semakin kompetitif. (Humas UGM/Ika)