Kesenjangan indeks pembangunan manusia (IPM) dan rasio elektrifikasi antar daerah di Indonesia dinilai masing sangat timpang dan belum merata. Hal itu berdampak pada kemampuan daya saing bangsa dalam menghadapi persaingan di tingkat regional dan global. Apabila hal itu tidak segera diatasi, maka jumlah masyarakat miskin akan semakin bertambah dan program pemerintah mewujudkan ketahanan pangan, ketersediaan energi, permasalahan kesehatan makin sulit tercapai.
Hal itu disampaikan oleh Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., pada acara wisuda program diploma UGM yang berlangsung di Grha Sabha Pramana, Kamis (19/11). Dihadapan 391 ahli madya yang baru diwisuda, Rektor UGM menyebutkan (IPM) antar wilayah sangat bervariasi. Ia menyebutkan IPM tertinggi dicapai DKI (78), DIY (77) Kalimantan Timur (74) dan Bali (73). Sementara HDI Papua (55) dan Nusa Tenggara Timur (54). Sementara rasio elektrifikasi atau perbandingan jumlah penduduk yang menikmati listrik dengan total jumlah penduduk di suatu wilayah, DKI menempati urutan pertama dengan rasio mencapai 100 persen, disusul DIY 85 %, Bali 75 % dan Kalimantan Selatan 72 %. Namun, di daerah lain seperti NTT, rasio elektrifikasi hanya 24 persen, Papua dan Papua Barat 32 persen. “Jadi kita bisa melihat bagaimana kesenjangan di negara kita. Itu sangat dipengaruhi angka harapan hidup, tingkat pendidikan, dan pendapatan perkapita,” kata Dwikorita.
Menurur Rektor, persolan kesenjangan tersebut menjadi pekerjaan pemerintah yang harus didukung oleh semua pihak. Meskipun Indonesia masih menghadapi persoalan kesenjangan IPM dan rasio elektrifikasi, Rektor mengatakan Indonesia memiliki potensi yang harus dimanfaatkan oleh negara dalam meningkatkan kemampuan daya saing bangsa, yakni peluang bonus demografi. “Indonesia mengalami bonus demografi pada tahun 2015 hingg 2050, penduduk Indonesia sekitar 70 persen bahkan lebih merupakan usia produktif, usia yang sangat diperlukan untuk menggerakkan roda perekonomian bangsa,” katanya.
Selain itu, kehidupan bertolerasi dan keragaman sosial di masyarakat merupakan kekuatan dan keunggulan yang dimiliki bangsa Indonesia untuk mendorong kemajuan ekonomi. “Lewat toleransi kita bisa menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara yang damai dan stabil. Yang berarti akan mengundang banyak investor untuk ikut serta mengembangkan pembangunan di Indonesia,” ujarnya.
Seperti diketahui, pada wisuda kali ini, UGM mewisuda sebanyak 391 lulusan Ahli madya dengan masa studi rata-rata 3 tahun 3 bulan. Waktu studi tersingkat diraih Haning Nerissa Ing Nidya dari prodi D3 Manajemen, Sekolah Vokasi, yang menyelesaikan studi dalam waktu 2 tahun 8 bulan 20 hari. Sedangkan lulusan termuda diraih Fitri Nurdianah dari prodi Metrologi dan Instrumentasi, Sekolah Volasi yang lulus dengan usia 20 tahun 3 bulan 10 hari.
Jumlah wisudawan yang bepredikat cumlaude pada wisuda kali ini sebanyak 38 orang dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) rata-rata 3,15. Adapun peraih IPK tertinggi diraih Hana Noviandina dari prodi D3 Bahasa Inggris, Sekolah Vokasi, yang lulus dengan IPK 3,86. (Humas UGM/Gusti Grehenson)