Lain dulu lain sekarang, itulah kata yang pantas untuk mereflesikan pentas budaya Yogyakarta yang bermakna religius bernama Sekaten. Kata sekaten sangat akrab bagi kalangan masyarakat Jogja, khususnya di lingkungan Kraton. Setiap tahun pada setiap bulan Maulud pada penanggalan Jawa, Sekaten diadakan dan bertempat di Alun-Alun Utara. Pentas budaya Sekaten menampilkan berbagai macam jenis aktivitas ekonomi, budaya dan sekaligus sebagai interaksi sosial masyarakat. Di Sekaten ini pula simbol budaya dan kekuasaan Kraton berinteraksi dengan masyarakat. Demikian dijelaskan Kepala Pusat Studi Pariwisata, Drs. Hendrie Adji Kusworo, M.Sc saat Diskusi Bulanan Puspar UGM bertema “Privatisasi Sekaten ?” pada hari Rabu, 30 Maret 2005 di Ruang Sidang Puspar UGM.
“Tapi apa yang nampak sekarang sangat berbeda dengan yang masa dulu. Sejak tahun 2004 nama Sekaten telah dikemas dalam paket yang diberi nama Jogja Expo Sekaten ( JES). Gelar Expo diduga akan lebih bersifat bisnis daripada sifat-sifat religius dan budaya sebagai ruh dasar Sekaten,” ujar pak Hendrie.
Menurut pak Hendrie, karena pengelolaannya berbasis bisnis, maka stan Sekaten pun dirubah secara besar-besaran. Tempat pelaksanaannya tetap di Alun-Alun Utara, namun Sekaten sekarang lebih tertutup bagi kalangan kebanyakan. Seluruh Alun-Alun Utara didesain mirip beteng dengan penambahan gerbang sebagai jalan masuk. “Akibatnya masyarakat luas tidak lagi bebas melihat secara langsung seperti saat dulu, apalagi ditambah dengan harga tiket masuk yang menurut sebagian pengunjung sangat memberatkan mereka,” tutur pak Hendrie.
Ditambahkan pak Hendrie, pada saat gamelan ditabuh sebagai simbol interaksi rakyat dan kraton (simbol penguasa), suaranya terhalang oleh dinding yang mengelilingi JES. Gamelan yang ditaruh di kawasan Masjid Besar Kauman bukan lagi bagian dari Sekaten.
“Kata yang lebih tepat untuk menggambarkan perubahan itu adalah privatisasi. Kalau sudah seperti ini, sesungguhnya Sekaten tidak ada bedanya dengan kegiatan expo yang sering dilaksanakan di Jogja Expo Center (JEC) atau expo pasar raya di berbagai daerah di Indonesia. Lalu pertanyaan yang lebih spesifik adalah apa yang istimewa dari Sekaten? Benarkah perubahan-perubahan modus penyelenggaraan Sekaten belakangan ini telah menjurus kearah privatisasi? Kemudian apa konsekwensi perubahan-perubahan tersebut terhadap makna dan substansi Sekaten yang sarat dengan nilai nilai kultural dan identitas Jogja?” tanya pak Hendrie.
Selain Drs. Subarkah (Ketua Panitia JES’05); acara ini dihadiri pula para pembicara Herman Isdarmadi, A. Md, Ak (Komisi B DPRD Kota Jogja); dan Ir. Yuwono Sri Suwito, MM (Dewan Kebudayaan DIY). (Humas UGM)