Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan (EBT), namun belum dikembangkan secara optimal. Padahal, dalam visi 2025 kebijakan energi nasional adalah berkomitmen untuk meningkatkan penggunaan jenis energi alternatif yang terbarukan dari 7% menjadi 23 %. Sementara saat ini, pemenuhan kebutuhan energi dalam bentuk bahan bakar fosil mencapai sekitar 93%. Beberapa pengamat menilai keterlambatan pengembangan energi terbarukan disebabkan kurang matangnya proses perencanaan dan perancangan, hambatan regulasi, rendahnya nilai ekonomi EBT dan keterbatasan sumber daya manusia pada penguasaan teknologi EBT.
Hal ini mengemuka dalam seminar pengembangan energi terbarukan yang berlangsung di gedung University Club UGM Rabu (25/11). Seminar yang diprakarsai oleh Fakultas Teknik UGM, Dewan Energi Nasional (DEN), Keluarga Alumni Teknik UGM (Katgama) dan USAID Peer Science-Clean Project, menghadirkan pembicara anggota DEN Syamsir Abduh, Peneliti The Indonesian-Swedish Initiative for Sustainable Energy Solutions (INSISTS), Farida Zed dan Onei Hercuantoro dari perwakilan Katgama. Syamsir Abduh mengatakan beberapa kendala dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia disebabkan kurangnya dukungan dari sisi kelembagaan, regulasi dan pendanaan dari pemerintanh pusat dan daerah. Bahkan, insentif dan mekanisme pendanaan untuk investor juga sangat terbatas. “Harus ada penyediaan insentif dan kemudahan perizinan,” kata Syamsir.
Ia menambahkan terbatasnya kapasitas sumber daya manusia dalam penguasaan teknologi menyebabkan EBT sulit berkembang. Dari sisi nilai ekonomi harga jual EBT tidak kompetitif dibandingkan energi fosil.
“Sebagian besar masih tergantung pada teknologi negara maju. Biaya produksi energi dari EBT relatif lebih tinggi sehingga tidak mamupu bersaing dengan energi fosil yang puluhan tahun disubsidi oleh negara,”tuturnya.
Agar target penggunaan energi EBT meningkat, ia mengusulkan adanya kebijakan penyediaan insentif dari pemerintah berupa kebijakan fiskal, subsidi dan kebijakan investasi. Selain itu, perlu ada penataan lahan dan kemudahan perizinan untuk kepentingan pembangunan lahan pembangkit, transmisi dan distribusi yang sesuai dengan rancangan tata ruang. Keberlanjutan pengembangan energi terbarukan dari bidang mikrohidro, biomassa dan sistem hibrid, keterlibatan masyarakat, sektor swasta serta perguruan tinggi sangat diperlukan untuk mempercepat pencapaian target pengembangan EBT.
Farida Zed, peneliti INSIST, mengatakan salah satu upaya yang dilakukan oleh UGM untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan adalah dengan membentuk lembaga INSIST. Lembaga ini berfungsi sebagai pusat pengembangan dan pembangunan energi terbarukan serta kebijakan energi melalui kerja sama dengan Swedia. Fokus program kerja sama ini merupakan pengembangan energi terbarukan dari limbah, biomassa, tenaga surya, mikrohidro yang diharapkan berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan akses terhadap energi listrik di Indonesia. “INSIST juga melakukan konservasi di sektor energi dan transportasi serta pelaksanaan konsep green building,” terangnya.
Dekan Fakultas Teknik UGM, Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., mengatakan saat ini para peneliti dari berbagai dunia tengah mengembangkan penelitian pemanfaatan bahan bakar hidrogen sebagai bahan bakar alternatif. Selain ramah lingkungan, bahan bakar hidrogen diyakini mampu menghasilkan bahan bakar dan listrik. “Faku;tas Teknik UGM juga tengah mengembangkan penelitian ini sebagai sumber energi masa depan,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)