
Jumlah kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terus mengalami peningkatan. Data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2014 menunjukkan jumlah kekerasan terhadap perempuan sebanyak 293.330 kasus. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2013, yaitu sebanyak 279.688 kasus. Adapun pola kekerasan terhadap perempuan masih didominasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan relasi personal sebanyak 68 persen. Sementara itu, kekerasan dalam komunitas sebanyak 30 persen.
Pemerhati isu gender, Dr. Dewi Haryani Susilastuti mengatakan meskipun isu KDRT telah diatur dalam Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, spirit dari undang-undang tersebut untuk melindungi perempuan korban KDRT belum sejalan dengan sejumlah peraturan lainnya, seperti UU Perkawinan dan KUHP.
“Penanganan hukum pada korban KDRT pun cenderung bias gender. Akibatnya, perempuan korban KDRT menjadi korban ganda karena sistem hukum yang tidak efektif dalam mengadili para pelaku,” jelasnya terkait Peringatan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Internasional, Rabu (25/11) di Kampus UGM.
Sementara itu pada level implementasi, kata dia, masih ada ketidakjelasan otoritas antar lembaga pemerintah baik secara vertikal maupun horisontal dalam menangani kasus kekerasan pada perempuan. Terdapat konflik tanggung jawab antara Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak yang diberi mandat untuk menjadi lembaga pelayanan terbadu bagi korban KDRT dengan Kementerian Dalam Negeri yang diberi mandat untuk melakukan sosialisasi, monitor, dan evaluasi implementasi standar minimal layanan di level lokal. Kondisi ini berdampak pada kompleksitas koordinasi dalam implementasi standar minimal layanan. Bahkan, berdampak pada jumlah anggaran dan inefisiensi penggunaan anggaran untuk mengatasi kekerasan pada perempuan sehingga mempengaruhi pemberian layanan di tingkat mikro.
“Hasilnya, beberapa unit pelayanan tidak memiliki sistem pelayanan yang baik untuk memenuhi kebutuhan dari korban KDRT, karena kurangnya dukungan anggaran,” terang dosen program Magister dan Doktor Studi Kebijakan (MDSK) UGM ini.
Menurutnya, perlu dilakukan perubahan terhadap kebijakan untuk memastikan harmonisasi antara hukum, keputusan, dan kompetensi pemerintah nasional maupun lokal dalam pelaksanaan pelayanan perlindungan wanita dengan baik. Selain itu, membangun regulasi dan kebijakan dalam memberikan perlindungan pada wanita untuk memperjelas peran dan tanggung jawab antar lembaga pemerintah sehingga tidak terjadi duplikasi mandat dalam penanganan KDRT.
“Memastikan bahwa KDRT dan persoalan gender lain yang berbasis isu kekerasan menjadi sebuah prioritas dalam Renstra, rencana kerja, dan program kerja di Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak. Demikian halnya terkait anggaran untuk pelayanan korban KDRT juga harus masuk dan jadi prioritas dalam anggaran tahunan,” tegasnya.
Pemakluman Dalam KDRT
Psikolog Sosial UGM, Prof. Dr. Koentjoro, mengatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa perempuan tidak muncul secara tiba-tiba. Terjadinya KDRT merupakan puncak dari akumulasi pemakluman-pemakluman isteri terhadap perlakukan suami. Biasanya banyak terjadi pada pasangan dengan usia perkawinan di bawah 10 tahun.
“Perempuan merasa cinta dan takut ditinggalkan sehingga ada akumulasi pemakluman. Hal tersebut menjadikan hirearki pria menjadi lebih tinggi sehingga mendorong untuk berbuat seenaknya pada perempuan,” papar Koentjoro.
Menurutnya, perempuan merupakan pihak yang banyak dirugikan dalam kasus KDRT. Namun, dalam kebanyakan kasus KDRT, tidak sedikit wanita yang tidak berani mengambil sikap tegas untuk melaporkan tindakan kekerasan yang dialaminya kepada polisi. Meskipun telah mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, namun dalam kebanyakan kasus mereka mencabut gugatan itu. Hal ini disebabkan ketidaksiapan perempuan menghadapi situasi usai perceraian, terutama secara ekonomi dan pandangan negatif masyarakat terhadap status janda. Akibatnya, perempuan membuat pemakluman-pemakluman kembali.
“Posisi wanita benar-benar dilematis, tetap bertahan dalam pernikahan dan menghadapi KDRT atau keluar dari pernikahan tetapi tidak mendapat tunjangan dari suami,” tuturnya.
Guru Besar Fakultas Psikologi UGM ini menyampaikan tindak kekerasan pada perempuan juga banyak terjadi pada masa pacaran. Tidak jarang saat pacaran perempuan merasakan tidak aman karena perasaan cemburu yang ekstrim dan sikap posesif, bahkan mendapatkan kekerasan secara fisik maupun seksual.
“Makanya, perlu diatur dan ada agreement apa yang perlu dan tidak perlu dilakukan,” terangnya.
Menyikapi kondisi ini, Koentjoro menegaskan pentingnya pemberian pendidikan seks pada remaja. Hal itu dapat dilakukan dengan memasukkan nilai-nilai pendidikan seksual dan moral dalam berbagai pelajaran di bangku sekolah. Keluarga juga berperan penting dalam pendidikan seks sejak dini. Hal ini perlu dilakukan mengingat semakin maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya, bagi anak usia balita dengan memberikan pendidikan seks dasar seperti perbedaan anak laki-laki dan perempuan serta anggota tubuh yang boleh di pegang dan tidak.
“Dengan pengetahuan yang diperoleh tersebut nantinya anak diharapkan bisa menjaga diri dan melawan tindakan eksploitasi yang mungkin terjadi,” ujarnya. (Humas UGM/Ika)