Bupati Kabupaten Jembrana, I Gede Winasa, memimpin dua periode dari tahun 2000 hingga 2010. Masa kepemimpinan Bupati Kabupaten Jembrana itu mengalami masa-masa kejayaan hingga pada akhirnya mengalami kegagalan dinasti politik. Rentetan perkembangan masa kepemimpinan Bupati I Gede Winasa menarik perhatian Sutoro Eko Yunanto yang kemudian ia angkat dalam disertasinya dengan judul “Drama Reformasi Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di Jembrana”.
Sutoro menilik kejayaan dan keruntuhan melalui dua potensi kemungkinan, yakni reformasi dan konsolidasi kekuasaan. Dengan menggunakan teori contentious reform, ia memaparkan kekuasaan dalam reformasi Jembrana.
“Reformasi Indonesia 1998 telah membawa dampak perubahan politik lokal di Jembrana. Sebelum 1998, struktur politik Jembrana bersifat eksklusif, pasca 1998 politik Jembrana berubah menjadi inklusif, yakni membuka kesempatan baru di kalangan kasta masuk ke dunia politik,” kata Sutoro, Sabtu (28/11).
Perubahan politik di Jembarana yang akhirnya beralih menjadi politik inklusif kemudian berhasil membawa keberuntungan bagi I Gede Winasa. Sebab, sebagai aktor baru yang berasal dari kasta rendah, melalui politik inklusif I Gede Winasa berhasil memperoleh kekuatan baru. Kekuatan itu datang dari komunitas islam.
“Islam menjadi basis politik yang kuat bagi kekuasaan IGW, sebab Politik Islam menciptakan alianasi yang kuat antara komunitas Islam dengan Bupati IGW,” katanya.
Sutoro membagi reformasi yang dimaksud dalam empat babak, antara lain babak reformasi dan kontestasi kekuasaan, babak kedua inisiasi reformasi dan konsolidasi kekuasaan, babak ketiga institusionalisasi reformasi dan dominasi kekuasaan, dan babak keempat erosi reformasi dan delegitimasi kekuasaan. Melalui keempat babak tersebut, Sutoro berhasil memaparkan dan menganalisa reformasi Bupati I Gede Winasa yang selanjutnya ia sebut sebagai drama reformasi.
Dalam kesempatan tersebut Sutoro berhasil mempertahankan disertasinya dengan meraih predikat sangat memuaskan. Menurutnya, dalam reformasi sarat dengan pertarungan kekuasaan dan setiap perebutan kekuasaan juga mengandung reformasi, “Penelitian ini memberikan sumbangan Contentious Reform (CR), artinya model CR memiliki relevansi bagi studi politik, khususnya menentang studi elit dan studi reformasi,” pungkasnya (Humas UGM/Putri)