Pemberian sertifikasi label halal dalam produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika sangat penting dan dibutuhkan oleh konsumen maupun para pelaku usaha untuk memastikan produk yang digunakan halal sesuai dengan hukum Islam. Namun, tidak sedikit pelaku usaha yang belum memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi konsumen tentang kehalalan produk yang dihasilkan serta kebenaran pencantuman label halal itu sendiri.
Dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Mataram, Teti Indrawati Purnamasari, S.H., M.Hum., mengatakan banyaknya kasus terkait ketidakpastian kehalalan produk yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia justru menimbulkan kerugian besar pada pelaku usaha dan dunia usaha Indonesia. Misalnya saja kasus isu lemak babi dalam penyedap rasa Ajinomoto dan dalam vaksin meningitis bagi jemaah haji.
“Karenanya kepentingan konsumen dan pelaku usaha harus dilindungi dan dijamin dengan adanya peraturan dan pengaturan yang jelas,” katanya Senin (30/11) saat ujian terbuka program doktor di Fakultas Hukum UGM.
Saat mempertahankan disertasi berjudul “Pengaturan Bentuk-Bentuk Perlindungan Konsumen Dalam Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal dan Tayiban di Indonesia”, Teti menyampaikan bahwa perlindungan pada konsumen terkait produk halal dan tayib dalam hukum Islam dan Sertifikasi halal oleh MUI telah diwujudkan melalui pengaturan penerapan prinsip maqashid syariah, prinsip kejujuran, dan prinsip absolut dalam penerapan sistem jaminan produk halal dan tayib. Adapun penetapan halal dan haram suatu produk dilakukan berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW dan fatwa MUI.
Sementara perlindungan konsumen dalam penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib di Indonesia dilakukan melalui penguatan perlindungan konsumen, melalui koneksi dan integrasi asas-asas jaminan produk halal dan tayib dengan asas-asas hukum atau khusus perlindungan konsumen di Indonesia. Norma-norma, standar, dan pedoman penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib harus harmonis dengan perkembangan prinsip-prinsip hukum Islam, hukum perlindungan konsumen Indonesia, dan hukum perdagangan internasional.
“Pemerintah seyogianya segera menyusun norma, standar, kriteria halal dan tayib produk Indonesia sesuai ketentuan Al Qur’an dan hadis, fatwa MUI, peraturan perundangan nasional, kesepakatan hahal organisasi Islam internasional dan perjanjian perdagangan internasional,”urainya.
Selain itu, kata dia, Indonesia juga perlu menjadi anggota Standard and Metrology Institutes of Islamic Countries (SMIIC) agar produk halal dan tayib Indonesia bisa memenuhi standar halal SMIIC. Dengan begitu, produk Indonesia bisa diterima di pasar halal internasional yang lebih luas. (Humas UGM/Ika)