Data Dinas Kesehatan DIY mencatat jumlah orang dengan HIV/AIDS sejak tahun 1993 sampai September 2015 mencapai 3.147 orang. Dari jumlah itu, penderita terbanyak berasal dari kelompok usia 20 hingga 49 tahun dan mayoritas adalah laki-laki.
dr. Yanri Wijayanti Subronto, PhD, SpPD, FINASIM, dosen Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UGM mengatakan upaya pencegahan terhadap penularan infeksi virus HIV harus terus dilakukan untuk menekan terjadinya penambahan kasus infeksi baru. Pasalnya, angka infeksi baru HIV/AIDS di Indonesia masih cukup tinggi, bahkan merupakan negara dengan peningkatan kasus baru yang tertinggi di kawan Asia Tenggara.
“Meskipun program pengobatan sudah mampu menekan angka kematian akibat HIV/AIDS hingga di bawah 2 persen, namun penambahan infeksi baru masih tinggi hingga 20-25 ribu jiwa per tahun,” kata Kepala Poliklinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito itu, Selasa (1/12).
Karenanya, program pencegahan harus terus diupayakan dan lebih ditingkatkan untuk menekan penambahan jumlah kasus infeksi baru. Pencegahan dapat dilakukan melalui edukasi kepada masyarakat untuk mengenali sejak dini faktor risiko HIV /AIDS dan berupaya menghindari jalan penularan infeksi.
HIV/AIDS ditularkan melalui darah terutama pada penguna napza suntik, cairan mani dan cairan vagina melalui hubungan seksual, dan ASI dari ibu kepada bayi. Dilihat dari faktor risiko, penularan tertinggi kebanyakan terjadi pada hubungan heteroseksual yang tidak aman, yaitu dengan orang yang berisiko tinggi terinfeksi HIV, dengan orang terinfeksi HIV, dan tanpa menggunakan kondom. Sebagian besar kasus banyak menimpa ibu rumah tangga karena hubungan seksual dengan suami yang terinfeksi HIV. Jumlah kasus infeksi tinggi juga terjadi pada pasangan homoseksual.
“Juga karena penggunaan jarum suntik pengguna napza,” terangnya saat ditemui di Poli Edelweis RSUP Dr. Sardjito.
Menurutnya, menjadi penting untuk mengenali risiko dan status HIV. Status tersebut dapat diketahui dengan melakukan tes HIV.
“Ada 1.500 pusat tes HIV yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia,” terangnya.
Sementara untuk mendukung program pengobatan diharapkan orang yang positif terinfeksi HIV segera menjalani terapi antiretroviral (ARV) yang disediakan secara gratis oleh pemerintah. Pemberian terapi ARV akan meningkatkan daya tahan tubuh sehingga mengurangi risiko kesakitan dan kematian, serta meningkatkan survival dan kualitas hidup orang yang terinfeksi HIV.
Penanganan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di DIY dapat dilakukan di sembilan layanan kesehatan, yaitu RSUP Dr. Sardjito, RSU PKU Muhammadiyah, RS Panti Rapih, dan RS Bethesda. Berikutnya, RS Jogja, RS Panembahan Senopati Bantul, RSUD Sleman, RSUD Wates, serta RSUD Wonosari.
“Terdapat sekitar 500 rumah sakit di Indonesia yang menjadi pusat rujukan ARV,” katanya.
Masih adanya diskriminasi dan stigma negatif pada ODHA (orang dengan HIV/AIDS) di masyarakat menjadi faktor penghambat keberhasilan program pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi penderita. Tidak sedikit ODHA yang enggan menjalani terapi karena merasa malu akibat anggapan negatif masyarakat. Misalnya, seperti yang terjadi di Klinik Edelweis RSUP Sardjito. Dari sekitar 1.700 kasus hanya 630 orang yang menjalani terapi.
“Hanya sepertiga yang menjalani terapi secara kontinu, selebihnya meninggal karena terlambat mendapatkan terapi, bosan terapi lama, dan atau tidak mau terapi karena malu,” ujarnya.
Untuk menanggulangi dan mengendalikan HIV dan AIDS di Indonesia diperlukan peran semua orang. Bagi yang sudah terinfeksi, segeralah mendapat perawatan dan terapi ARV serta tidak menularkannya pada orang lain. Sementara itu, bagi masyarakat umum diharapkan terus meningkatkan pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang HIV, tahu cara mencegah terinfeksi, mengetahui status HIV-nya sendiri dan tidak melakukan stigmatisasi serta diskriminasi terhadap populasi tertentu maupun orang yang terinfeksi.
“Jangan hindari orangnya, tapi hindari penyebabnya,” pungkasnya. (Humas UGM/Ika)