Disamping menjadi indikasi kesadaran religius, munculnya aktivitas keberagamaan kaum waria di Jogyakarta ternyata menjadi salah satu alat penting untuk memperjuangkan eksistensi mereka yang masih termarjinalkan. Di tahun-tahun 1970-1990an waria memperjuangkan eksistensinya dengan berbagai strategi sosial, seperti kegiatan berkesenian, olah raga dan organisasi.
Sementara, melalui aktivitas-aktivitas keagamaan, waria mencoba membangun citra yang lebih positif. Meskipun sebagian dari mereka masih menggantungkan kehidupan di jalanan.
“Di beberapa kota, seperti di Surabaya, Malang dan Jakarta kaum waria telah memiliki kegiatan keagamaan yang relatif mapan. Bahkan kegiatan-kegiatan tersebut telah terwadahi dalam sebuah yayasan,†ujar Drs Koeswinarno MHum, Senin (14/1), saat ujian terbuka program doktor di Sekolah Pascasarjana UGM.
Promovendus yang dosen sekaligus peneliti dari UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta ini, mempertahankan desertasi “Kehidupan Beragama Waria Muslim di Jogjakartaâ€. Dengan bertindak selaku promotor Prof Dr Sjafri Sairin MA dan ko-promotor Prof Dr Irwan Abdullah.
Dua wajah kehidupan waria, antara kehidupan jalanan dan kehidupan religius telah menarik perhatian peneliti selama bertahun-tahun. Kata Koeswinarno, masyarakat memang telah menstereotipkan waria dengan jalanan, sehingga ketika ditemui aktivitas religius pada diri mereka, masyarakat cenderung bersikap sinis, meski sebagian masyarakat lainnya merespon dengan positif.
“Tidak semua waria turun ke jalan dan menjadi pelacur. Meski jumlahnya tidak terlalu besar, namun ada bagian kehidupan religius mereka yang seharusnya menjadi perhatian agamawan, terutama Islam,†ujarnya lagi.
Lebih lanjut, Koeswinarno menjelaskan di dalam Islam, waria seringkali disepadankan sebagai khuntsa, padahal khuntsa ini jelas bukan waria. Khuntsa adalah mereka yang memiliki kelamin ganda, atau yang disebut dengan hermaphrodite. Waria kemudian didefinisikan sebagai al-mukhannitsin, atau laki-laki yang menyerupai perempuan.
“Namun sesungguhnya definisi ‘menyerupai’ itu juga tidak terlalu tepat, karena waria tidak menyerupai, tetapi diri mereka ‘ingin’ menjadi perempuan karena dorongan dan kepribadian yang kuat,†jelas Koewinarno.
Sebagaimana Hadis Riwayat Abu Dawud, pada jaman Nabi Muhammad SAW, pernah muncul kaum waria, kemudian mereka diasingkan ke kota Naqi dan hanya pada hari Jum’at mereka diperbolehkan masuk ke kota untuk mencari nafkah. Ketika seorang sahabat nabi bertanya, apakah boleh seorang waria dibunuh, maka Nabi melarangnya jika mereka melakukan salat.
Oleh kareana itu, katanya, hadis sahih inilah yang seharusnya menjadi alat untuk melakukan ijtihad kaum waria. Sebab, selama ini fiqih-fiqih mayoritas yang sering menjadi acuan umat Muslim, adalah semata-mata waria sebagai kaum terlaknat.
“Karena terlaknat, maka mereka harus ‘dihabiskan’ sehingga banyak kekerasan yang menimpa waria,†lanjutnya.
Disebutkan, diantaranya Kontes dan Pemilihan Waria Indonesia 2006, yang mendapat tentangan dari sekelompok ormas Islam, meski acara itu dihadiri Gubernur DKI saat itu Sutiyoso dan Gus Dur. Di Jogjakarta tahun 2000 sekelompok pemuda berbasis Islam memberangus daerah yang diindikasi sebagai tempat mangkal waria di malam hari.
Suami Endah Susilandari SH Msi, ayah dari Faisal Adhitya Dirgantara dan Reza Pramasta Gegana ini, kemudian mengungkapkan pentingnya fiqih minoritas, yakni fiqih-fiqih yang berpihak pada waria. Sebab, mereka juga memiliki hak hidup. Tafsir agama, kata Koeswinarno, bukan didominasi orang-orang yang ‘dianggap’ paling tahu agama.
“Waria juga memiliki hak untuk melakukan interprestasi agama dan memaknai agama. Tidak ada seorangpun yang ingin hidup sebagai waria, kalaupun kemudian terperangkap menjadi waria tidak berarti hak-hak dan kewajiban keagamaan mereka terhapus sama sekali,†tandas Koeswinarno yang dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan dan meraih doktor bidang ilmu anthroplogi UGM. (Humas UGM)