Penelitian kebijakan pembangunan jalantol Cawang-Tanjung Priok merupakan studi kebijakan. Penelitian ini penting karena privatisasi jaln tol Cawang-Tanjung Priok dengan skema Built Operate and Transfer (BOT) ini merupakan kebijakan layanan publik pertama di Indonesia. Pada saat kebijakan privatisasi itu dibuat belum ada payung hukum yang mengatur pengelolaan jalan tol oleh swasta, dan jalan tol itu bersifat natural monopoli serta investasinya bersifat jangka panjang sehingga punya resiko politik yang tinggi, disamping itu gagasan privatisasi masih belum bisa diterima oleh semua kalangan sehingga menimbulkan pro dan kontra. Demikian diungkapkan Ir. Muhammad Machmudin Jusuf, MSc saat menempuh Ujian Promosi Doktor dalam bidang Ilmu Sosial dan Politik (Administrasi Publik) pada hari Selasa, 26 April 2005 di Ruang Pascasarjana UGM.
Menurut Asisten Deputi Menko Perekonomian Urusan Privatisasi, pada Deputi VI Bidang Koordinasi Peningkatan Investasi dan Kemitraan Publik-Swasta, Menko Bidang Perekonomian menjelaskan bahwa hasil penelitian kebijakan ini menunjukkan bahwa privatisasi jalan tol Cawang-Tanjung Priok itu merupakan konsekwensi logis pemerintah Indonesia dalam menghadapi tantangan berupa keterbatasan dan keterdesakan akibat resesi ekonomi yang terjadi pada tahun 1980-an, padahal pemerintah harus membangun 3 ruas jalan tol guna mendukung Bandara Sukarno- Hatta dan pelabuhan Tanjung Priok.
Anggota Komisaris PT Waskita Karya menuturkan dalam situasi dimana secara umum, dalam jajaran birokrasi pemerintah, masih meragukan kebijakan privatisasi, maka yang dilakukan oleh kelompok Direktorat Jenderal Bina Marga adalah bagaimana menerobos “pendirian” itu dengan memilih skema privatisasi BOT yang masih mempertahankan paradigma state-led. Kelompok Bina Marga menyadari bahwa mereka hidup pada sebuah iklim politik yang patrimonialisme. “Maka, dalam tradisi seperti itu diperlukan mitra bisnis yang benar-benar memahami konteks dan sekaligus dapat menundukkan iklim dan budaya politik yang ada. Pada akhirnya mereka menemukan sebuah kelompok bisnis yang mempunyai kekuatan politik dan jaringan ekonomi yang besar yang dikomandani oleh PT Citra Lamtoro Gung Persada (CLGP) dan bersama-sama dengan beberapa perusahaan lain serta PT Jasa Marga membentuk PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP) membangun dan mengelola jalan tol Cawang-Tanjung Priok,” ujar promovendus kelahiran Gresik, 10 November 1945 ini.
Oleh karena itu pelajaran yang dapat diambil dalam disertasi berjudul “Privatisasi Layanan Publik: Studi Tentang Dimensi Politik Kebijakan Pembangunan Jalan Tol Cawang-Tanjung Priok” bahwa kebijakan privatisasi jalan tol Cawang-Tanjung Priok yang mengikuti model Jepang dengan pola BOT (state-led) ini berbeda dengan privatisasi layanan publik lain seperti sektor energi listrik (pola Built, Own, Operate/BOO) dan telekomunikasi (pola divestasi) yang mengikuti model Bank Dunia (market –led) yang memberikan peluang kapitalis internasional untuk mengendalikan proses itu. “Model Jepang (state-led) yang dianut oleh privatisasi jalan tol Cawang-Tanjung Priok, mempertahankan atas proses itu berada ditangan kapitalis domestik. Output pembangunan jalan tol Cawang-Tanjung Priok memang secara rasional memberikan manfaat sangat besar kepada masyarakat khususnya di wilayah DKI Jakarta karena dapat memenuhi kebutuhan akan layanan transportasi, namun ketika proses pembuatan kebijakan itu menyangkut hal-hal ynag tidak bisa ditoleransi seperti transparansi dan akuntabilitas, maka output kebijakan privatisasi jalan tol Cawang-Tanjung Priok itu hasilnya dapat dibaca punya dampak “negatif” karena budaya patrimonialisme dan budaya rent seeking pada satu sisi merugikan, sehingga mengakibatkan norma dan nilai-nilai rasionalitas yang baik itu ‘berkurang’,” tegas doktor ke-635. (Humas UGM)