Pasca Orde Baru, terdapat perubahan yang cukup signifikan dalam pola kehidupan sosial masyarakat pedesaan, khususnya di Pulau Jawa. Perubahan ini dapat dilihat dari segi pekerjaan, gaya hidup, hingga struktur demografi. Pertanian tidak lagi menjadi mata pencarian utama masyarakat pedesaan. Banyak dari mereka yang beralih ke bidang jasa, perdagangan, atau industri. Usia para petani menjadi semakin tua, sementara generasi yang lebih muda tidak tertarik untuk bekerja sebagai petani karena dianggap sebagai pekerjaan dengan status sosial yang rendah. Karena itu banyak angkatan kerja potensial yang memilih untuk bermigrasi keluar untuk bekerja. Sementara itu, warga perkotaan yang sudah dalam usia pensiun justru bermigrasi ke desa. Pergeseran ini kemudian memunculkan kesenjangan sosial di pedesaan, antara penduduk asli dan para pendatang. Hal ini menjadi perhatian Dr. Gerben Nooteboom, Profesor dari University of Amsterdam, yang menjadi salah satu pembicara dalam seminar bertajuk Kerentanan, Ketahanan Pangan, dan Politik Perlindungan Sosial di Indonesia yang diadakan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM bekerja sama dengan Magister dan Doktor Studi Kebijakan UGM, Kamis (10/12). Kesenjangan ini, menurutnya, menyebabkan banyak warga pedesaan menginginkan gaya hidup yang berbeda hingga mereka kemudian menjual sawahnya, dan lama-kelamaan produksi pertanian pun ikut menurun.
Terkait permasalahan ketahanan pangan dan perlindungan sosial, Dr. John McCarthy dari Australian National University, memaparkan hal ini merupakan hak asasi manusia yang seharusnya dijamin oleh pemerintah. Namun, pemerintah tidak dapat hanya mengandalkan bantuan langsung seperti raskin, tetapi harus lebih memikirkan solusi jangka panjang, yaitu dengan strategi kebijakan yang lebih luas. Untuk membuat kebijakan ini, ujarnya, Indonesia perlu belajar dari pengalaman sesama negara berkembang lainnya seperti Brazil atau India yang sudah banyak mencanangkan program-program sosial. Meskipun demikian, pemerintah tetap perlu memikirkan cara untuk mengadopsi kebijakan tersebut dan menyesuaikannya dengan situasi yang ada di Indonesia. “Indonesia menjadi semacam laboratorium pembangunan, dan harapannya Indonesia pun dapat membangun pendekatan tersendiri yang sesuai dengan konteks bangsa ini,” tambahnya.
Persoalan lain yang terjadi saat ini, program perlindungan sosial di Indonesia kerap menjadi objek yang dipolitisasi. Program perlindungan sosial, menurut peneliti PSKK UGM, Dr. Mulyadi Sunarto, terus mengalami perubahan seiring dengan pergantian kabinet. Namun, terdapat suatu pola yang berlangsung berulang kali, yaitu meningkatnya bantuan sosial menjelang masa pemilu. “Bantuan-bantuan tunai justru sering dimanfaatkan untuk memobilisasi pemilih mendekati waktu pemilihan,” ujarnya. Dalam paparannya ia menyoroti bagaimana pemerintah melakukan personalisasi terhadap program-program perlindungan sosial, dan memanfaatkan kebijakan tersebut untuk pencitraan di hadapan masyarakat. Isu-isu politik dan permasalahan yang muncul di antara para pengambil kebijakan ini menjadi salah satu hal penting yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia (Humas UGM/Gloria)