
Menggunjingkan persoalan zaman, tidak akan pernah lepas dari dunia anak muda dan tentunya kampus lingkungan dimana mereka berada. Kisah itulah yang pernah dituangkan dalam sebuah roman berjudul Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar. Tak lama setelah kemunculan novel itu, 30 tahun yang lalu film berjudul sama segera diproduksi. Kini dengan generasi yang berbeda, Teater Gadjah Mada akan mengangkat kembali kisah tersebut dalam sebuah pertunjukan pra-lakon bertajuk “masihkah ada cinta d(ar)i Kampus Biru.”
“Masihkah ada cinta d(ar)i Kampus Biru” adalah sebuah pentas yang merepresentasikan kehidupan saat ini. Meskipun cerita itu ditulis kurang lebih 30 tahun lalu, ternyata keadaan saat ini sangatlah dekat, bahkan sama dengan masa Ashadi muda,” kata salah satu panitia, Taufiq Nur Rachman, Jumat (11/12).
Pentas pra-lakon “Masihkah ada cinta d(ar)i Kampus Biru” oleh Teater Gadjah Mada akan digelar Sabtu, 12 Desember 2015, Pukul 19.30 di Selasar Barat Fisipol UGM. Sebagai perlambangan masa kini, Teater Gadjah Mada tentu akan menggunakan perspektif yang baru.
“Hari ini Kampus Biru sedang menjadi simbol harapan baru. Meskipun demikian, banyak orang mulai bertanya, masihkah kita semua sedang menuju harapan baru itu”, ujarnya menjelang pementasan.
Taufiq menjelaskan Novel Cintaku di Kampus Biru ditulis Ashadi Siregar dalam situasi yang barangkali sama dengan situasi saat ini. Pasca tergulingnya Soekarno, mimpi tentang harapan baru melanda generasi muda saat itu. Bahkan, slogan buku, cinta dan pesta menjadi penanda masa kala itu. Tapi kemudian terbukti, harapan itu adalah palsu.
“Apakah kelak kita akan mengalami hal yang sama dengan apa yang pernah terjadi di masa lalu? Jika benar kita sedang menuju harapan baru, kenapa semakin hari janji-janji cinta ‘Kampus Biru’ semakin terasa palsu?,” kata Taufiq.
Menurut Taufiq, cinta hanya ada pada kutub yang setaraf. Dua kutub yang sama-sama sadar akan nilai pihaknya dan nilai pihak pasangannya. Pertunjukan ini, menurut dia, sebagai tanda cinta untuk ‘Kampus Biru’. Sebuah upacara sosial untuk melakukan refleksi diri: Masihkah ada cinta d(ar)i ‘Kampus Biru’?
Pertunjukan ini adalah konstruksi baru yang berubah dan mengambil bentuk baru seiring ditambahkannya alat, metode dan teknik baru. Pilihan praktiknya bercirikan pragmatis, strategis, dan refleksi diri.
“Tak luput dalam menafsirkan ulang karya Cintaku di Kampus Biru, perpaduan paradigma pun digunakan. Meskipun mungkin saja paradigma yang menyimbolkan berbagai kepercayaan itu akan memunculkan tanggapan berbeda dari mereka yang menyaksikan,” papar Taufiq.
Usai pementasan, kata Taufiq, dilanjutkan dengan diskusi yang menghadirkan pembicara lintas generasi dan lintas profesi. Pementasan pra lakon ini merupakan rangkaian Dies Natalis ke-60 Fisipol UGM, sebagai salah satu padepokan yang telah membesarkan beberapa petinggi di pemerintahan. (Humas UGM/ Agung)