Himpunan Mahasiswa Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan UGM, pada hari Sabtu, 7 Mei 2005 menyelenggarakan Seminar Regional bertajuk “Meneropong Bumi Pascagelombang Bencana” di Auditorium Fakultas setempat.
Hadir sebagai pembicara dalam seminar diantaranya: Dr. Sunarto, MS (Sekretaris Pusat Studi Bencana UGM); Bobi Setiawan Ph.D (Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM); dan Ghozali Mukri “Pondok Pesantren “Bina Umat”)
Menurut Dr. Sunarto, MS, Indonesia merupakan wilayah kepulauan yang memiliki keanekaragaman bencana, karena wilayah Indonesia (i) terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik yang saling bertubrukan, (ii) terletak pada the ring of fire, (iii) terletak pada lintang rendah di daerah iklim tropika basah, (iv) terletak di antara dua benua dan dua samudra, serta (v) dihuni oleh berbagai ras dan suku bangsa dengan karakter yang berbeda-beda. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia perlu memahami serta mampu membaca fenomena alam berdasarkan morfo-indikator dan bio-indikator maupun perilaku masyarakat berdasarkan sosio-indikator agar dapat hidup dan berkehidupan secara harmonis dengan bencana.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa, (i) Morfo-indikator ialah bentuk-bentuk di permukaan Bumi yang dapat dijadikan petunjuk adanya gejala-gejala bencana, contoh: bentuk cekungan seperti sendok di lereng bukit, menunjukkan lereng bukit tersebut pernah mengalami pelongsoran. (ii) Bio-indikator ialah biota (umumnya hewan) tertentu yang dapat digunakan sebagai petunjuk akan adanya bencana. Ada beberapa jenis hewan yang peka terhadap gejala-gejala akan terjadinya bencana. Contoh bio-indikator di antaranya: binatang buas yang turun dari gunungapi menandakan adanya gejala letusan gunungapi. (iii) Sosio-indikator ialah petunjuk dari masyarakat akan adanya bahaya atau bencana yang akan melanda di wilayahnya. Sosio-indikator merupakan sistem peringatan dini tradisional, sehingga seringkali disebut sebagai kearifan tradisonal setempat atau secara singkat disebut kearifan lokal (local wisdom).
Sedangkan Bobi Setiawan Ph.D, dalam makalah berjudul “Krisis Lingkungan: Perlunya Etika Lingkungan Baru?” menjelaskan bahwa perlunya gerakan lingkungan karena (i) Krisis lingkungan telah terjadi dan mengancam keberlanjutan bumi dan manusia; (ii) Paradigma pembangunan yang terlalu materialistik/kapitalistik dan mengarah pada dehumanisasi perlu dikoreksi dan dikritisi; (iii) Pemerintah belum mampu menjamin environmental rights and justice-pemerintah berkewajiban menyeimbangkan kepentingan komersial dan sosial; (iv) Persoalan lingkungan adalah persoalan politik; dan (v) Perlu dibangun gerakan lingkungan-gerakan lingkungan harus dialndasi dengan etika lingkungan yang jelas. (Humas UGM)