
Pembiayaan jaminan kesehatan masih mendominasi kebijakan kesehatan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo selama tahun 2015. Kebijakan pembiayaan kesehatan tersebut belum tertata dengan baik dan belum didukung oleh kebijakan kesehatan terkait peningkatan mutu dan pemerataan layanan kesehatan. Meskipun pemerintah berencana akan meningkatkan anggaran kesehatan menjadi 104,8 triliun rupiah di tahun 2016 dari sebelumnya 74,8 triliun rupiah, namun untuk mencapai pemerataan pelayanan kesehatan yang bermutu bagi seluruh warga, pemerintah dihadapkan pada kendala minimnya tenaga kesehatan yang distribusinya belum merata.
Demikian yang mengemuka dalam Dikusi Refleksi Kebijakan dan Manajemen Kesehatan 2015 yang dilaksanakan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran UGM di Hotel Santika Yogyakarta, Rabu (30/12). Hadir sebagai pembicara diantaranya Guru Besar FK UGM, Prof. Laksono Trisnantoro, Ph.D., dan peneliti PKMK, dr. Yodi Mahendradhata, Ph.D.
Menurut Laksono kebijakan kesehatan nasional di tahun 2015 masih menekankan pada kebijakan pembiayaan, namun belum diikuti kebijakan-kebijakan manajemen kesehatan lain yang mendukung, “Kalau pun pembiayaan di tahun depan meningkat, namun kita tidak tahu untuk apa, padahal jumlah dokter kita masih kurang dan tidak merata,” ujarnya.
Laksono menambahkan saat ini jumlah dokter spesialis belum merata di setiap daerah. Bahkan, jumlah dokter spesialis berdomisilii di pulau Jawa jumlahnya mencapai angka 1000 hingga 6000 tenaga dokter spesialis di setiap provinsi. Sementara di luar Jawa, angkanya di kisaran 100-500, bahkan ada yang dibawah itu. Beberapa provinsi seperti Riau, Sumatera Utara, Kaltim, Bali dan Sulsel mencapai lebih dari seribu dokter spesialis. Dikatakan Laksono, peningkatan jumlah dokter spesialis dan kebijakan penempatan dokter spesialis dalam rangka meningkatkan status kesehatan masyarakat. “Dokter Spesialis bisa didorong hingga ke daerah terpencil, dokter muda didorong lebih mudah mengambil pendidikan spesialis ke perguruan tinggi dengan syarat misalnya kembali ke daerah untuk bekerja selama sepuluh tahun atau hingga pensiun,” katanya.
Soal Jaminan kesehatan Nasional (JKN), Laksono menilai peran Pemerintah Daerah dalam JKN masih sangat terbatas. Sementara BPJS merupakan lembaga keuangan yang tersentralisasi di dalam sektor kesehatan serta terdesentralisasi. “Ada kemungkinan pelaksanaan JKN 2016 gagal memenuhi harapan UUD 1945 dan dana besar justru masuk ke masyarakat menengah ke atas yang sebagian mampu membiayai sendiri,” katanya.
Peraturan pemerintah dan peraturan menteri untuk mendukung JKN perlu perlu dibahas lebih mendalam agar hubungan antara Kementerian Kesehatan, BPJS dan dinas kesehatan lebih bersinergi. Di lapangan, kata Laksono, sering ditemukan adanya konflik antara puskesmas, rumah sakit dan BPJS terkait klaim pembayaran premi kesehatan, sehingga banyak dinas kesehatan mau tidak mau memediasi masalah tersebut. “Apakah SDM di dinkes punya kemampuan? Saya kira nantinya bisa menggunakan tenaga independen sebagai wasit, membantu dinkes menghadapi kasus semacam itu,” katanya
Sementara Yodi Mahendradhata menuturkan pemerintah harus berperan penuh dalam menyediakan pelayanan publik dan membiayai pelayanan kesehatan. Untuk itu, pemerintah harus kuat dalam mencari dana melalui pajak. Menurutnya, pajak dari cukai rokok bisa dialihkan untuk pembiayaan JKN, bahkan tidak hanya dari cukai rokok saja namun juga diambil dari pajak minuman bersoda. “Ada sumber lain, produk seperti soft drink misalnya, karena tinggi kadar gulanya, ada dampaknya bagi diabetes,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)