Malaria merupakan salah satu penyakit mematikan di dunia. Data WHO 2014 mencatat 198 juta kasus malaria terjadi secara global dan menjadi penyebab 584.000 kematian di tahun 2013. Infeksi malaria banyak terjadi di berbagai belahan dunia terutama daerah tropis dan sub tropis termasuk Indonesia.
Di Indonesia, sekitar 35 persen penduduknya tinggal di daerah berisiko terinfeksi malaria dan dilaporkan sebanyak 38 ribu orang meninggal per tahun karena malaria berat akibat Plasmodium falciparum. Wabah malaria hampir terjadi setiap tahun di berbagai wilayah endemik Indonesia. Beberapa wilayah telah dikategorikan sebagai daerah zona merah penderita malaria seperti Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Tengah, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan Bengkulu. Berikutnya, Jambi, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo, serta Aceh.
“Dari 293 kabupaten/kota di Indonesia, 167 kabupaten diantaranya berada di wilayah endemik malaria, “ kata dr. Arend Laurence Mapanawang, Sp.Pd., FINASIM., Kamis (31/12) saat ujian terbuka program doktor di Fakultas Kedokteran UGM.
Arend menyebutkan terapi kombinasi berbasis artemisinin (ACT) merupakan terapi yang banyak digunakan dalam pengobatan pasien yang terinfeksi plasmodium falciparum. Laporan WHO tahun 2010 menyebutkan penerapan terapi ACT dapat menekan kasus malaria secara global. Namun demikian, terapi ini tidak berhasil untuk mengobati pasien malaria di beberapa daerah di Thailand dan Kamboja.
Kegagalan terapi ACT ini mendorong WHO untuk melakukan penyempurnaan terhadap terapi tersebut dengan kombinasi dehidroartemisinin dan piperakuin (DHP). Hasilnya, terapi ini menunjukkan keberhasilan dalam pengobatan malaria yang lebih baik. Kendati begitu, terapi ini belum mampu memberikan efek farmakologis atau tingkat kesembuhan yang maksimal dan masih berisiko mengalami kambuh kembali.
Ketua STIKES Halamahera ini menyampaikan pengobatan malaria di Indonesia dilakukan dengan penerapan kombinasi DHP dengan penambahan primakuin. Terapi yang diprogramkan pemerintah sesuai Permenkes tahun 2013 ini telah diterapkan di Halmahera. Penerapan terapi kombinasi ini dikarenakan Halmahera termasuk dalam satu daerah dengan kasus malaria yang cukup tinggi. Namun, tingkat keberhasilan penerapan kombinasi DHP dan primakuin baru sebatas jumlah pasien malaria yang sembuh semakin meningkat.
Oleh karena itu, Arend melakukan uji farmakokinetika pengobatan dengan kombinasi dehidroartemisinin, piperakuin, dan primakuin. Hasilnya, diketahui penderita malaria falciparum tanpa komplikasi yang diterapi dengan kombinasi ACT DHA, piperakuin, primakuen sangat efektif untuk mengobati pasien malaria falciparum tanpa komplikasi. Dengan terapi kombinasi DHP dan primakuin menunjukkan tingkat kesembuhan pasien malaria falciparum mencapai 100 persen. Sementara dengan terapi DHP tingkat kesembuhan penderita malaria falciparum mencapai 95 persen atau masih memiliki risiko kumulatif kambuh sebesar 5 persen.
“Sejauh ini belum ada penelitian yang menunjukkan adanya resistensi terhadap kombinasi obat tersebut,” terangnya. (Humas UGM/Ika)