Penelitian tentang bagaimana perempuan memutuskan untuk berimigrasi sebagai TKW, apa yang dirasakan dan pergeseran-pergeseran peran mereka di dalam rumah tangga dan masyarakat, belum dilakukan. Migrasi yang dilakukan perempuan sampai jauh ke luar negeri, menyebabkan terbentuknya pengalaman baru bagi kaum perempuan, sehingga mereka menjadi ‘sosok yang lain’ yang jauh berbeda dibandingkan dengan sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap redefinisi (pemaknaan kembali) eksistensi (keberadaan) perempuan migran yang meliputi konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi, yang akhirnya melahirkan rekonseptualisasi, baik pada tingkat individu maupun masyarakat. Demikian diungkapkan Tri Marhaeni Pudji Astuti saat menempuh Ujian Terbuka Promosi Doktor dalam bidang Ilmu Budaya (Antropologi) pada hari Sabtu, 28 Mei 2005 di Ruang Pascasarjana UGM.
Menurut Dosen Universitas Negeri Semarang ini, penelitian yang dilakukan di Kecamatan Godong Kabupaten Grobogan Jawa Tengah, Malaysia dan Singapura, dengan fokus penelitian Godong ini, subyeknya adalah perempuan migran atau yang pernah bekerja di luar negeri, keluarga migran dan aktor dalam jaringan migrasi. “Untuk mengungkap akar permasalahan digunakan pendekatan metodologis kualitatif model etnografi. Data analisis dengan deskripsi yang mendalam dan bersifat interpretatif dengan memperhatikan tekstual dan kontekstualnya,” ujarnya.
Dari disertasi berjudul “Redefinisi Eksistensi Perempuan Migra: Kasus Migran Kembali di Godong, Grobogan Jawa Tengah” menghasilkan temuan penting antara lain: (i) meningkatnya pendapatan perempuan sebagai TKW dan sebagai pencari nafkah ternyata tidak diikuti dengan meningkatnya posisi tawar-menawar mereka dalam keluarga dan dalam masyarakat, karena penghargaan sosial yang diberikan adalah penghargaan sosial semu. Pola adaptasi yang dilakukan suami migran juga merupakan pola adaptasi semu. (ii) migrasi perempuan ke luar negeri juga mengakibatkan berubahnya hubungan gender dalam perkawinan dan terjadinya evaluasi hubungan antara migran dan orangtuanya, migran dengan anak, dan migran dengan sami yang dapat dilihat dalam beberapa kasus tentang ke-permissive-an (sikap serba memperbolehkan) berbagai bentuk perubahan nilai, perubahan konsep tentang laki-laki sebagai pencari nafkah, perilaku dan sikap. Evaluasi yang mendasar juga terjadi diantara migran sebagai anak (perempuan), yang ternyata telah dapat ‘menguasai’ siklus hidup orang tuanya. (iii) hampir semua migran perempuan beum menyadari eksistensi dirinya, baik sosoknya sebagai perempuan maupun sebagai pekerja (buruh migran). Mereka merasa liminal, mereka merasa ‘tidak berada disini juga tidak berada di sana’. Representasi identitas mereka juga ikut liminal, oleh karena itu dalam melakukan redefinisi eksistensinya banyak yang masih merasa ‘gamang’. Representasi identitas dengan menampilkan pola hidup, gaya hidup, juga pemakaian benda-benda dari luar negeri, di desa asal juga mejadi tanda penting dari liminalitas dan perubahan sosial budaya dalam kehidupan perempuan migran.
Untuk itu, Sekretaris Pusat Studi Wanita Unnes Semarang menyarankan bahwa salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan memberdayakan diri perempuan migran oleh mereka sendiri, melalui suatu bentuk penyadaran berbagai hal dalam kehidupan berkaitan dengan peran gender dan kodrat serta hak dan kewajibannya sebagai TKW. “Bentuk penyadaran ini tidak melalui teori yang muluk-muluk dan disampaikan secara text book, melainkan bisa dikemas dalam cerita yang menarik melalui media yang menarik pula, seperti komik, karikatur, atau naskah sandiwara dan perempuan migran diajak bermain peran,” tegasnya. (Humas UGM)