Masalah transportasi perkotaan seperti parkir, fasilitasnya telihat sangat kurang di pusat-pusat kegiatan. Beberapa mal/supermarket, rumah sakit, tempat hiburan, rumah makan dan fasilitas-fasilitas umum lainnya hanya mempunyai tempat parkir yang begitu sempit, yang hanya dapat menampung beberapa kendaraan roda empat saja. Ruang parkir mobil di sepanjang jalan Malioboro (termasuk kantong-kantong parkir di beberapa mal, taman parkir Abu Bakar Ali dan pasar Beringharjo) hanya dapat menampung sekitar 1000 mobil penumpang. Ini jauh lebih kecil dibandingkan daya tampung parkir di pusat-pusat perkotaan di negara-negara maju, misalnya di Hamburg, akan tetapi dengan semakin meningkatnya perekonomian masyarakat, maka jumlah kendaraanpun semakin bertambah, sehingga permintaan ruang parkirpun semakin bertambah. Demikian dikemukakan Dr. Ing. Ir. Ahmad Munawar, M.Sc dalam releasenya (30 Mei 2005).
Menurut Dosen Manajemen Lalulintas Magister Sistem Teknik Transportasi dan S1 Teknik Sipil UGM ini, kesemuanya ini memang memerlukan suatu kebijakan transportasi yang radikal. Akan tetapi, dampak sosial dan budaya dari kebijakan tersebut perlu diperhitungkan. Sosialisasi kepada masyarakat perlu dilakukan secara terus-menerus. Aspirasi dari setiap unsur masyarakat perlu didengar. Dampak negatif dari setiap rencana kebijakan harus diminimalkan, bahkan kalau dapat tanpa menimbulkan dampak negatif. Kebijakan angkutan umum harus mengakomodir aspirasi dari operator-operator angkutan umum yan ada. Mereka harus dilibatkan secara aktif dalam pengambilan keputusan. Seperti kebijakan pengoperasian bus patas yang diharapkan sudah dapat dioperasikan tahun ini. Pengadaan bus tersebut tidak menambah jumlah armada bus yang ada, tetapi dengan merubah beberapa bus yang ada menjadi bus patas, dengan operator yang sama. Jalur yang digunakan bukan merupakan jalur khusus, sehingga tidak akan mengurangi fasilitas parkir yang ada. “Dengan cara seperti ini, diharapkan tidak terjadi gejolak di kalangan operator yang ada dan para juru parkir. Perlu pula disadarkan, jika tidak dilakukan perubahan sistemmangkutan umum di Yogyakarta, maka sistem angkutan umum yang ada akan semakin terpuruk. Dari hasil studi Magister Sistem dan Teknik Transportasi UGM, jumlah penumpang bus perkotaan rata-rata turun 18% pertahun. Perubahan angkutan umum harus dilakukan secara berangsur-angsur, menjadi sistem angkutan umum massal yang berkualitas, yang dapat dijangkau oleh masyarakat dan ramah lingkungan,” tuturnya.
Anggota Tim Pengembangan Sistem Informasi Terpadu Propinsi DIY juga mengungkapkan, mengenai permasalahan parkir, tanpa adanya penyediaan suatu tempat parkir yang adapat menampung dalam jumlah yang banyak, maka permasalahan parkir di Malioboro tidak akan dapat diatasi. Lebih-lebih adanya rencana menjadikan sebagian Malioboro sebagai tempat pejalan kaki. “Oleh karena itu, parkir bawah tanah di Alun-alun Utara memang merupakan salah satu alternatif yang diharapkan dapat mengatasi parkir di Malioboro. Dalam studi parkir inipun perlu dilibatkan semua unsur masyarakat, agar dapat memberikan pelbagai pertimbangan sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Tentu saja juga harus melibatkan para juru parkir, serta mengikut sertakan mereka pada sistem perparkiran yang baru, sehingga tidak menimbulkan gejolak diantara mereka. Jika dipandang dari segi teknik konstruksi, pembangunan parkir di bawah tanah tidak akan menimbulkan masalah. Teknologi membangun parkir di bawah tanah yang tidak merusak bangunan sekitarnya sudah banyak diterapkan di berbagai negara maju,” ujarnya.
Ia menambahkan, bahwa suatu hal yang perlu ditekankan adalah kemauan yang kuat dan kebersamaan dari semua elemen masyarakat untuk ikut berpartisipasi aktif dalam mengatasi permasalahan transportasi perkotaan di Yogyakarta. “Sarasehan-sarasehan perlu dilakukan guna menampung semua aspirasi masyarakat dan sebagai sosialisasi pelbagai kebijakan di bidang transportasi. Peran dari berbagai LSM yang terkait juga perlu ditingkatkan, guna menampung aspirasi-aspirasi tersebut,” tegasnya. . (Humas UGM)