Psikolog Sosial UGM, Prof. Dr. Koentjoro menilai Gafatar banyak membidik kaum muda untuk dijadikan pengikut. Anak muda yang direkrut adalah orang-orang berpendidikan tinggi seperti mahasiswa, dosen, dokter dan lainnya.
“Yang jadi sasaran Gafatar adalah intelektual muda, tetapi yang tidak mampu berpikir kritis,” jelasnya, Rabu (13/1) di Kampus UGM.
Menurut dia, Gafatar sangat lihai memengaruhi calon pengikutnya dengan mempresentasikan visi dan misi organisasi. Mereka mengumbar janji adanya perubahan kehidupan yang lebih baik ditengah pemerintahan yang carut-marut dan banyak terjadi korupsi.
“Biasanya yang masuk dalam gerakan ini adalah mereka yang merasakan kekecewaan ataupun ketidakpuasan terhadap agama yang ada maupun kondisi pemerintahan saat ini,” terangnya.
Guru Besar Fakultas Psikologi UGM ini menambahkan Gafatar melakukan pencucian otak pada anggotanya. Mereka berupaya menanamkan ideologi, target dan tujuan kelompok.
“Orang diobrak-abrik idealismenya dan dijanjikan memperoleh kehidupan yang lebih dengan menjadi bagian kelompok ini,” katanya.
Guna menghindari terjadinya cuci otak yang sering dilakukan oleh kelompok ini, Koentjoro menegaskan pentingnya berpikir kritis dalam menyikapi setiap persoalan. Dalam melihat fakta tidak hanya dengan asumsi-asumsi saja tetapi juga disertai dengan analisis dan evaluasi informasi sebelum mengambil keputusan.
“Kuncinya berpikir kritis, supaya terhindar dari berbagai gerakan ekstrim,” tandasnya.
Dihubungi secara terpisah, Sosiolog UGM, M. Najib Azca, Ph.D., mengatakan Gafatar adalah sebuah aliran baru yang merupakan transformasi dari gerakan yang telah muncul sebelumnya dan biasa disebut dengan Milah Ibrahimah atau Agama Ibrahim. Awalnya, gerakan ini menjadi bagian dari gerakan yang dipimpin oleh Ahmad Musadeq.
“Gerakan Fajar Nusantara ini mengembangkan ajaran ke agama tertentu yang berbeda dengan ajaran Islam pada umumnya. Identitas keagamaan disini disisihkan,” terangnya.
Najib menuturkan Gafatar menjadi sebuah gerakan millenial, yaitu gerakan yang berusaha membangun suatu masyarakat yang lebih baik, murni, dan suci.
“Kelompok ini banyak menjanjikan kebaikan bagi pengikutnya dan masyarakat secara luas. Sehingga muncul fenomena hijrah untuk menjadi lebih baik,” kata Peneliti Senior Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM ini.
Keputusan untuk berhijrah tersebut pada akhirnya memunculkan persoalan baru karena para korban meninggalkan keluarganya. Fenomena ini sama dengan yang terjadi pada kasus dr. Rica Tri Handayani, meskipun pada akhirnya dapat ditemukan kembali di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
Terkait langkah perekrutan, Najib mengatakan kelompok ini biasanya memanfaatkan kelompok-kelompok kecil seperti kelompok pengajian. Melalui kelompok tersebut dilakukan indoktrinasi dan memasukkan ideologi Al Qaidah Al Islamiyah. Kendati begitu, dalam perekrutannya, kelompok ini tidak hanya membidik orang Islam tetapi juga Kristen hingga Katolik.
“Gerakan ini berawal dari Agama Ibrahim yang mengakui kesamaan Islam, Yahudi, serta Kristen sehingga yang direkrut orang Islam, Kristen dan Katolik,” jelasnya. (Humas UGM/Ika)