
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) telah menjadi sebuah revolusi dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Sebelumnya, pelayanan kesehatan Indonesia menghadapi masalah yang sangat krusial, terutama dalam pembiayaan. Masih ada lapisan masyarakat yang tidak terjangkau oleh pelayanan kesehatan. Melalui program JKN, pemerintah juga mengatur agar obat dapat dijangkau dengan daya beli masyarakat. Karena itu, obat generik dengan harga murah menjadi primadona dalam pelayanan BPJS kesehatan.
Bagi masyarakat, pengaruh BPJS kesehatan cukup jelas terlihat. Namun, yang jarang mendapat sorotan adalah bagaimana program ini juga memengaruhi aktor-aktor lain dalam pelayanan kesehatan, termasuk pelaku industri farmasi.
“Pengadaan obat yang fokus pada obat generik dalam jumlah besar membawa perubahan besar pada pasar farmasi Indonesia. Dampaknya, apotek kehilangan konsumen, pedagang besar farmasi kehilangan pasar rumah sakit, sementara industri farmasi mengalami minus pertumbuhan karena harus beroperasi low price dan low margin,” ujar dosen Fakultas Farmasi UGM, Dr. Sampurno, MBA., Apt., dalam seminar bertajuk Prospek Industri Farmasi Indonesia, Sabtu (16/1) di Univesity Club UGM.
Pola preskripsi yang berubah menjadi obat generik membuat margin apotek hanya sekitar Rp5.000 per resep. “Apotek mengalami penurunan omzet berkisar antara 20 hingga 60 persen,” tambahnya. Sementara itu, dengan pengadaan obat sektor pemerintah melalui e-catalog, pedagang besar farmasi lokal kehilangan captive market. Akibatnya, ribuan pedagang besar sekarang ini mati suri.
Pasar farmasi Indonesia tahun 2015 diperkirakan tumbuh 11,8 % dengan total nilai sebesar US$ 4,6 Miliar dengan konsumsi per kapita US$ 19. Namun bagi industri farmasi, pertumbuhan hanya dinikmati oleh perusahaan farmasi besar, sedangkan perusahaan domestik dengan skala menengah ke bawah menghadapi kesulitan pemasaran produk.
Obat generik banyak digunakan sebagai alternatif mahalnya harga obat. Tingginya harga obat, salah satunya diakibatkan oleh bahan baku obat yang masih bergantung pada impor. “Lebih dari 96% bahan baku diimpor, sehingga harganya pun sangat bergantung pada harga dolar. Padahal, bahan baku obat yang diimpor pun ada yang tidak memenuhi standar pharma grade,” ujar kepala Badan POM, Dr. Roy Alexander Sparringa, M.App.Sc.
Untuk mengatasi hal ini, salah satu solusinya adalah dengan memproduksi sendiri bahan baku obat dengan memanfaatkan bahan lokal. “Saat ini sudah ada cikal bakal produksi bahan baku obat dengan ekstrak bahan alam. Pengusaha pun mendesak pemerintah untuk menggenjot produksi bahan baku lokal ini,” ujar Presiden Direktur PT Dexa Medica, Ir. Ferry Soetikno, M.Sc., M.B.A.
Seminar yang diadakan atas kerja sama antara Fakultas Farmasi UGM dengan PT Dexa Medica, PT Sido Muncul, PT Kimia Farma dan PT Konimex ini diadakan sebagai penghormatan kepada Dr. Sampurno yang akan segera memasuki masa purnatugas di Fakultas Farmasi. (Humas UGM/Gloria)