Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) secara resmi diberlakukan pada tahun 2016. Dampaknya, persaingan antar tenaga kerja di kawasan Asia Tenggara tidak terelakkan lagi. Setidaknya, ada delapan profesi yang akan bersaing dalam MEA tersebut, yakni profesi insinyur, arsitek, tenaga pariwisata, akuntan, dokter gigi, tenaga survei, praktisi medis dan perawat.
Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., menilai pembentukan komunitas masyarakat ekonomi ASEAN tidak akan melemahkan daya saing bangsa atau mengancam perekonomian negara. Sebaliknya, MEA sebagai peluang untuk meningkatkan kemampuan daya saing SDM serta meningkatkan pertumbuhan industri nasional. “Perlu kita sadari karakter bangsa ini apabila mendapat tekanan lalu diberi pesaing, justru bangkit menjadi unggul,” kata Dwikorita dihadapan 1.092 lulusan pascasarjana yang baru mengikuti prosesi wisuda di Grha Sabha Pramana UGM, Selasa (19/1).
Menurut Rektor, Indonesia memiliki kapasitas SDM lulusan perguruan tinggi (PT) yang cukup handal sehingga mampu menopang sekaligus mampu menjadi pengendali arus keterbukaan ekonomi di ASEAN. “Namun, keberanian untuk melangkah dan berkreasi merupakan penentu keberhasilan bangsa kita dalam menghadapi MEA,” terangnya.
Rektor mencontohkan dua perusahaan BUMN yang sebelumnya tidak memiliki pesaing sebelumnya namun ketika ada kompetitor di dalam negeri justru semakin maju dan berkembang. Dua Perusahaan yang dimaksudkan Rektor UGM itu adalah BRI dan maskapai Garuda Indonesia. “Tahun 2014 lalu BRI mendapatkan keuntungan terbesar 24 triliun rupiah, nilainya jauh dari keuntungan bank swasta dan bank BUMN lainnya,” ujarnya.
Sementara itu, maskapai Garuda Indonesia yang sebelumnya menjadi satu-satunya maskapai nasional yang pernah dimiliki pemerintah di masa lalu, ketika mendapatkan kompetitor lain justru semakin maju dan semakin baik dalam hal pelayanan. “Berdasarkan rangking, maskapai ini mampu mengalahkan Singapore Airlines,” ujarnya.
Rektor berpesan kepada lulusan master, spesialis dan doktor yang baru diwisuda untuk tidak gentar dalam menghadapi persaingan dengan tenaga kerja asing di kawasan ASEAN. “Menghadapi teroris saja bangsa kita tidak takut dengan beramai-ramai membuat Gerakan Indonesia Tidak Takut, apalagi menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN,” paparnya kepada para wisudawan.
Seperti diketahui, UGM kali ini mewisuda 1.092 orang, terdiri 993 lulusan master termasuk 7 wisudawan dari warga negara asing, 53 spesialis, dan 47 doktor. Masa studi rata-rata untuk program magister adalah 2 tahun 8 bulan, sedangkan spesialis 4 tahun 9 bulan, sedangkan program doktor 5 tahun 11 bulan. Waktu tersingkat untuk lulusan master diraih oleh Dilan Mulia Permatasari dari S2 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, yang menyelesaikan studi dalam waktu 18 bulan 6 hari. Sedangkan waktu tercepat untuk studi program doktor diraih oleh Faisal dari prodi S3 Sains Veteriner FKH yang meraih gelar doktor dalam waktu 38 bulan 27 hari. (Humas UGM/Gusti Grehenson;foto: Budi H)