Candi dan lingkungannya sebagai produk budaya masyarakat abad IX-X Masehi, masa Mataram Kuna, disusun sebagai gambaran ruang sakral simbol kosmos. Sebagai ruang sakral, gambaran kosmos ditunjukan melalui lingkungan candi yang dikelilingi lahan subur, dekat dengan sumber air dan tersedianya bahan bangunan.
“Selain itu, wujud tata ruang halaman candi ditata berundak-undak dan ekspresi candi mempresentasikan Gunung Meru simbol pusat kosmos,” kata dosen Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Dra. Niken Wirasanti, M.Si., Senin (25/1) saat ujian terbuka program doktor di Sekolah Pascasarjana UGM.
Niken menyampaikan untuk mewujudkan candi dan lingkungannya sebagai simbol kosmos digunakan tanda-tanda yang sama dan menunjukkan keteraturan. Misalnya, desain tata ruang halaman baik candi Hindhu maupun Budha ditata berundak-undak dengan halaman pusat di tempat tertinggi. Demikian halnya arsitektur candi menggambarkan tiga lapis dunia yang terbagi atas kaki candi (kamadatu), tubuh candi (rupadatu), dan atap candi (arupadatu).
Namun demikian, kata Niken, tanda sama tentang lingkungan candi dapat dimaknai secara beragam oleh masyarakat pada waktu itu. Hal itu dibuktikan dari sumber prasasti dan naskah kesusastraan. Meskipun memiliki tanda-tanda yang sama untuk memperesentasikan simbol kosmos, candi dan lingkungannya memiliki ekspresi dan konteks berbeda.
“Ekspresi candi dan lingkungan di masing-masing lokasi menyiratkan beragam pesan bermakna,” tuturnya saat mempertahankan disertasi berjudul “Lingkungan Candi Abad IX-X Masehi Masa Mataram Kuna di Poros Kedu Selatan-Prambanan”.
Candi di lereng gunung api menunjuk pada konsep wanasrama. Sementara candi di dataran menunjuk pada konsep tata wilayah lingkungan kerajaan. Sementara itu, candi di wilayah perbukitan menunjuk pada konsep gunung sebagai pusat kosmos.
Dari penelitian yang dilakukan Niken pada candi-candi yang berada di Poros Kedu Selatan-Prambanan, yaitu Candi Mendut, Candi Pawon, dan Candi Borobudur diketahui adanya sistem tanda yang terbingkai dalam satu kesatuan perlambang simbol kosmos. Hal ini ditunjukkan dengan rangkaian tanda yang terstruktur. Ketiga candi ini terletak dalam satu garis imajiner yang menggambarkan ajaran Budha Mahayana.
Niken menyebutkan sifat struktural antara lain bisa ditelusuri dari tanda yang tersusun secara linier membentuk sistem tanda tiga serangkai yang menggambarkan perjalanan ritual umat Budha menuju kesempurnaan ajaran Budha Mahayana. Perjalanan dimulai dari Candi Mendut (sambaramarga) berlanjut ke Candi Pawon (prayogamarga) dan berakhir di Candi Borobudur mendaki tahap demi tahap hingga puncak tertinggi (darsanamarga, bhavanamarga, asaikamarga).
“Secara denotatif lokasi Candi Mendut dan Candi Pawon di dataran dan kedua candi ini mengarah ke pintu sisi timur Candi Borobudur yang menjulang tinggi di atas bukit,” paparnya.
Sementara lokasi dataran secara konotatif dimaknai sebagai suatu lingkungan yang bersifat duniawi (laukika), yaitu sebagai tempat peribadatan untuk persiapan menuju tujuan akhir ritual. Letak Candi Borobudur lebih tinggi dari Candi Mendut dan Candi Pawon secara konotasi menunjukkan Candi Borobudur sebagai simbol di atas dunia (lokattara). Hal itu menunjukkan orientasi ritual terpusat di Candi Borobudur. Akhir laku spiritual adalah kesempurnaan dalam memperoleh pengetahuan yang didasarkan pada kebijaksanaan, yaitu perilaku, kata-kata, usaha yang benar, dan sembahyang yang benar.
“Demikian gambaran hirearki makna perjalanan ritual yang dilakukan tahap demi tahap dari dataran menanjak ke puncak bukit menuju pusat kosmos,” urai Niken. (Humas UGM/Ika)