Dualisme ekonomi regional merupakan kondisi yang sering terjadi di semua tingkatan pembangunan. Wilayah berpendapatan tinggi berdampingan dengan wilayah berpendapatan rendah di waktu yang sama. Kedaan tersebut masih terus berlangsung, salah satunya di Pulau Sumatera.
“Ketimpangan regional masih terjadi di Sumatera. Sebagai bagian dari Indonesia, Sumatera yang terdiri dari 10 provinsi memiliki North-South problemnya sendiri,” kata Arivina Ratih L Taher, S.E., M.M, saat ujian terbuka program doktor di Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Rabu (27/1).
Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Lampung ini mengatakan Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan menjadi tiga provinsi yang memiliki distribusi persentase produk domestik regional bruto (PDRB) tertinggi di Sumatera dibandingkan provinsi lainnya di Pulau Sumatera. Kesenjangan antarwilayah juga terjadi diantara kabupaten/kota di masing-masing provinsi. Data Kementerian PDT dan BPS tahun 2010 mencatat 183 daerah tertinggal di Indonesia dan terbanyak berada di Sumatera sejumlah 46 kabupaten/kota.
Mempertahankan disertasi berjudul “Geografi Ekonomi Pembangunan Regional Sumatera 2001-1012”, Arivina menyampaikan hasil penelitiannya bahwa pusat pertumbuhan ekonomi di Sumatera periode 2001-2006 berada di Aceh Timur, Toba Samosir, Padang Pariaman, Kuantan Singingi, dan Pekanbaru. Pertumbuhan tinggi di wilayah Aceh Timur dan Kuantan Singingi terjadi karena pertumbuhan sektor pertambangan yang sangat tinggi. Sementara di Toba Samosir pertumbuhan tinggi terjadi dipengaruhi oleh sektor industri. Sementara itu, pertumbuhan di Padang Pariaman disebabkan sektor transportasi yang dipengaruhi pengoperasian Bandara Internasional Minangkabau. Di Pekanbaru pertumbuhan tinggi dikarenakan sektor keuangan yang didukung pertumbuhan semua sektor.
Berikutnya, pada periode 2007-2012 pusat pertumbuhan terjadi di Simeule, Aceh Tenggara, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Banda Aceh, Sabang, Pekanbaru, Sarolangun, dan Bungo. Pertumbuhan tinggi di Simelue, Aceh Tenggara, Pidie, Pidie Jaya, Banda Aceh, dan Sabang terjadi karena pertumbuhan tinggi di sektor jasa. Sedangkan pertumbuhan di Aceh Besar dipengaruhi pertumbuhan sektor keuangan, Sarolangun dipengaruhi sektor industri, dan Bungo dipengaruhi sektor konstruksi dan pertambangan. Sementara di Pekanbaru terjadi pertumbuhan tinggi di sektor-sektor sekunder dan tersier.
“Pertumbuhan ekonomi beberapa pusat pertumbuhan itu berkontribusi terhadap wilayah tetangga seperti Banda Aceh, Pidie, Sarolangun, dan Bungo. Sementara Aceh Besar dan Piddie Jaya menjadi dua pusat pertumbuhan yang menerima efek pertumbuhan ekonomi dari wilayah tetangga mereka,” urainya.
Arivina menyampaikan sebagian besar daerah tertinggal memiliki sektor unggulan di sektor pertanian. Namun demikian, perannya terhadap pembentukan PDRB wilayah semakin menurun. Pola perubahan struktur ekonomi kabupaten/kota di Sumatera didominasi oleh perubahan struktur yang relatif lambat dengan pertumbuhan PDRB per kapita rendah.
Melihat ibu kota poovinsi dan wilayah administrasi kota difokuskan sebagai pusat pertumbuhan, Arivina menyampaikan pentingnya upaya untuk mendukung efek limpahan pertumbuhan ekonomi dari pusat pertumbuhan, seperti pembangunan jaringan transportasi, komunikasi, dan informasi yang lebih baik.
“Perhatian lebih besar perlu diberikan di wilayah pulau seperti Nias, Meranti, dan Mentawai karena cenderung mempunyai kondisi ekonomi dan kualitas pembangunan manusia yang rendah,” terangnya.
Menurutnya, pemerintah daerah perlu bersikap kritis mempersiapkan daya dukung wilayah untuk menjadi wilayah penyangga dari lokasi konsentrasi industri meskipun berada di kabupaten yang berbeda. Perencanaan yang baik dibutuhkan guna menyerap efek limpahan aktivitas industri, dan pengembangan wilayah yang berbatasan langsung disesuaikan dengan aktivitas industri berdasarkan potensi lokal yang dimiliki. (Humas UGM/Ika)