Berdasarkan survei awal di tahun 2004, Indonesia berhasil menemukan potensi cadangan gas hidrat metana sebesar 850 (Tcf) di dua lokasi utama, yaitu perairan selatan Sumatra sampai ke arah barat laut Jawa (625 Tcf) dan di Selat Makasar Sulawesi (233,2 Tcf). Mengingat operasional yang berisiko tinggi, mahal dan tidak stabilnya gas pada tekanan dan suhu permukaan laut normal, maka tantangan eksplorasi serta produksi gas hidrat metana lepas pantai menjadi sangat besar.
Sayangnya, hingga saat ini belum ada standar aturan internasional ataupun lokal tentang Sistem Manajemen Keselamatan, Kesehatan Kerja serta Lindung Lingkungan berbasis Risiko yang terintegrasi. Demikian pula, pedoman nonteknis risiko (NTR) yang juga tidak tersedia sebagai acuan dalam pelaksanaan eksplorasi dan produksi gas hidrat metana.
Demikian dikatakan Ardian Nengkoda, di KPTU Fakultas Teknik UGM, Rabu (27/1), saat melaksanakan ujian terbuka program doktor bidang teknik kimia. Dengan didampingi promotor Ir. Supranto, M.Sc., Ph.D dan ko-promotor Prof. Ir. Suryo Purwono, M.A.Sc., Ph.D dan Imam Prasetyo, M.Eng., Ph.D, promovendus mempertahankan disertasi Perancangan Alat Pendukung Pengambilan Keputusan Dalam Pemilihan Metode Produksi Gas Hidrat Metana: Studi Kasus Selat Makasar Indonesia.
“Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan alat pendukung pengambilan keputusan dalam pemilihan metode produksi gas hidrat metana (DMS) dengan studi kasus Selat Makassar Indonesia,” ujar Ardian Nengkoda.
Ardian menjelaskan sebagai landasan metodologi, alur kerja berisikan metode baru yang terdiri dari evaluasi SWOT, analisa HAZID, penilaian kuantitatif (uji laboratorium atau pemodelan simulasi) dan perkiraan risiko menggunakan model Monte Carlo, semua proses dibuat dalam satu sistem yang terpadu. Sedangkan sebagai umpan alur proses, Knowledge Management (KM) dan Proses Flow Diagram (PFD) harus dibuat, sementara 6 skenario metode produksi termasuk injeksi termal, depressurization, kombinasi depressurization dan injeksi CO2.
“Semua akan dievaluasi dalam studi. Hasil studi menunjukkan alat pendukung pengambilan keputusan (DMS) berhasil dan terbukti mampu dalam memilih metode produksi yang paling optimal, serta memenuhi tingkat risiko paling rendah (ALARP) dan terbukti mampu mengintegrasikan HSE&RMS dan NTR,” jelasnya.
Selanjutnya, hasil SWOT dan evaluasi HAZID menyimpulkan bahwa metode depressurization adalah metode produksi yang paling layak. Dalam uji laboratorium tambahan dan permodelan disimpulkan bahwa teknik depressurization memerlukan tekanan hidrat disosiasi sebesar 100,75 psia, yang tekanan kritisnya mencapai 778, 23 psia dan suhu kritisnya sekitar 78,99 derajat celcius.
Ardian menjelaskan Model Monte Carlo memperkirakan seluruh risiko untuk metode depressurization menunjukkan nilai 5,88 dengan probabilitas 90 persen, rata-rata 5,66 dan standar deviasi 0,31 dan dikategorikan sebagai risiko menengah. Perkiraan risiko keseluruhan dipengaruhi oleh kecenderungan tidak langsung dari hidrat cadangan deposit metana sebanyak 43% serta indeks langsung dan insitu. (Humas UGM/ Agung)