
Pemerintah Aceh sejak 2010 telah melaksanakan program asuransi kesehatan nasional dengan nama Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) yang telah diintegrasikan ke BPJS pada 2014 lalu. Selama pelaksanaan JKA, terdapat penambahan dokter spesialis dari tahun ke tahun walaupun jumlah dan distribusinya masih belum cukup dan merata. Rerata rasio dokter spesialis di Aceh adalah 6,5 per 100 ribu penduduk. “Rasio ini lebih rendah dari proyeksi Dirjen Dikti tahun 2014 sebanyak 12 dokter spesialis atau lebih rendah dari target Indonesia Sehat 2010,” kata Kepala Dinas Kesehatan, Pemerintah Aceh, dr. M.Yani, M.kes, PKK., dalam ujian terbuka program doktor di Fakultas Kedokteran UGM, Jumat (29/1).
Upaya pemenuhan dokter spesialis di kabupaten/kota dengan memperbaiki faktor finansial dan insentif dalam rangka menarik dokter untuk bertugas di daerah sudah dilakukan. Namun, pemerintah daerah, menurut Yani, masih mengabaikan faktor lain yang mampu mendorong dokter spesialis bertugas di daerah dan membuat mereka bertahan untuk jangka waktu lama.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penambahan dokter spesialis dan fasilitas selama kurun waktu 2010 hingga 2014 di Aceh disebabkan adanya program intervensi Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh-Nias (BRR Aceh-Nias). “Peran pemerintah Aceh masih lemah dalam penyediaan dokter spesialis,” ujarnya.
Padahal dalam UU otonomi daerah, pemerintah Aceh bisa lebih berperan dalam penyediaan dokter spesialis di daerah, sedangkan pemerintah kabupaten/kota lebih kepada penyediaan tenaga strategis lainnya. “Ketersediaan dokter umum dan dokter spesialis menunjukkan daerah Aceh belum sepenuhnya siap dalam menjalankan amanah UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) tentang keadilan sosial,” katanya.
Menurutnya, pemerintah Aceh perlu memperbaiki ketimpangan dokter spesialis antar kabupaten/kota. Penambahan fasilitas tempat tidur dan unit hemodialisis di rumah sakit kabupaten/kota perlu mendapat perhatian serius. Meskipun dari penelitiannya, sudah ada peningkatan jumlah tempat tidur di rumah sakit sebesar 57 persen dibanding sebelum dilaksanakannya JKA.
Selain itu ia berpendapat, pemerintah daerah dan perguruan tinggi setempat perlu menyelenggarakan upaya monitoring dan evaluasi program JKA secara teratur untuik mendorong pelaksanaan program yang lebih efektif, efisien dan merata. “Program JKA perlu dilanjutkan dengan dilakukannya penguatan sistem kepesertaan,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)