
Ribuan mantan pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) telah direlokasi dari Mempawah Timur, Kalimantan Barat. Mereka dipulangkan kembali ke wilayah asal masing-masing.
Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Prof. Dr. Muhadjir Darwin, MPA., mengatakan pemulangan mantan anggota kelompok Gafatar menimbulkan sejumlah persoalan baru. Salah satunya, mereka harus menghadapi permasalahan administrasi kependudukan (Adminduk). Pasalnya, sebagian besar mereka telah mencabut status kependudukan di wilayah asal. Bahkan, beberapa telah mengantongi Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang baru di Kalbar.
“Tindakan pemulangan oleh pemerintah kemudian memaksa mereka untuk mengalihkan status kependudukannya lagi,” tuturnya Rabu (3/2) di Kampus UGM.
Muhadjir menjelaskan, terlepas dari persoalan ideologi atau kepercayaan, mobilitas warga eks Gafatar merupakan salah satu bentuk migrasi yang menunjukkan betapa kakunya sistem pencatatan KTP di Indonesia. Sistem KTP di Indonesia dibangun berdasarkan asumsi bahwa penduduk adalah statis.
“Padahal masyarakat kita semakin lama mobilitasnya tinggi,” terangnya.
Muhadjir mencontohkan sistem pencatatan identitas penduduk Amerika Serikat yang efektif, efisien, serta mampu mengakomodasi mobilitas penduduknya. Selama tinggal di Amerika Serikat, identitas seorang warga adalah social security number (SSN), sementara jika orang tersebut bepergian ke luar negeri, maka identitasnya adalah dokumen paspor. Tak hanya identitas, SSN juga merupakan bentuk keamanan warga negara secara sosial.
“Bagi para migran pun diberlakukan hal yang sama,” jelas pakar Administrasi Negara ini.
Disebutkan Muhajdir, meskipun seseorang tidak tercatat sebagai warga negara dan hanya menetap atau tinggal sementara waktu (temporary residents) baik karena urusan pekerjaan dan bisnis, tugas belajar, dan lain-lain, mereka diharuskan pula untuk memiliki SSN. Data kependudukan terekam secara nasional dan terpadu sehingga sistem mampu mendeteksi siapa saja yang tinggal di negara tersebut, bahkan memantau mobilitasnya. SSN bisa digunakan untuk semua urusan administratif, seperti di bank, kantor, pemerintahan, sekolah, bahkan untuk urusan pemilihan umum, cukup dengan menunjukkan SSN.
SSN melekat pada negara, sehingga kemanapun warga berpergian, melintas batas negara bagian, dia akan tetap menggunakan nomor identitas yang sama. Berbeda dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Indonesia yang melekat pada keterangan tempat tinggal. Saat seseorang berpindah tempat, meski masih di kabupaten/kota yang sama, dia tetap harus mengurus KTP yang baru.
“Misalnya pada orang-orang penglaju, mereka bekerja di suatu kota, sebut saja Jakarta, namun rutin pulang ke daerah asal tiap bulannya. Di Jakarta dia tetap dianggap penduduk ilegal karena tidak punya KTP Jakarta,” kata Muhadjir.
Menurutnya, mobilitas adalah salah satu bentuk hak hidup. Oleh sebab itu, sistem administrasi penduduk pun perlu dibangun atas dasar pemikiran bahwa penduduk bersifat dinamis, bergerak, memiliki mobilitas, dan tidak stagnan tinggal di satu tempat.
Sementara terkait aksi pemulangan warga eks Gafatar yang disebut sebagai upaya untuk meredam konflik, Muhadjir mengingatkan agar hak mereka sebagai warga negara jangan sampai dihilangkan. Kenyataan bahwa masyarakat eks Gafatar memiliki keyakinan yang berbeda, itu merupakan persoalan yang lain, sehingga penting bagi negara untuk tidak terperangkap pola pikir sektarian yang sempit. Negara harus berani dan mau untuk memberikan perlindungan kepada semua warga negaranya.
‘Artinya, mereka sebagai warga negara pun wajib untuk tidak menimbulkan kerusakan, tidak melakukan aksi yang merugikan publik, ikut menciptakan suasana yang damai dan tenteram di masyarakat, itu sudah cukup,” tegas Muhadjir. (Humas UGM/Ika)