Persoalan tentang feminisme merupakan persoalan yang kerapkali muncul dalam setia diskusi tentang feminisme dan budaya lokal dan budaya lokal, terutama dalam suatu komunitas yang bukan merupakan tempat kelahiran dari ideologi feminis itu sendiri (non-barat). Oleh karenanya sering muncul pertanyaan awam yang cenderung defensif mengenai relevansi feminisme dengan masyarakat non-barat atau pertanyaan kritis mengenai pentingnya mengkaji feminisme dalam konteks masyarakat non-barat yang mempunyai landasan kultural dan ideologis dan moral yang berbeda dan beragam dalam pola dan dinamika relasi gender. Hal tersebut diungkapkan Dr. Anna Marie Wattie dalam seminar dua mingguan pada Program Beastudi Kajian Antarbudaya/ Antarregional yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Asia Pasifik UGM bekerjasama dengan Ford Foundation, Yogyakarta, 9 Juni 2005.
Dalam makalah berjudul “Feminisme dalam Konteks Sistem Kekerabatan Beberapa Etnis di Indonesia”, bu Anna menuturkan, ada kelompok yang sangat percaya bahwa patriarkhi dan penindasan perempuan bersifat universal dan ada dalam konteks masyarakat manapun, sekalipun yang menganut sistem matrilineal dan memposisikan perempuan sebagai pusat aktivitas dan jaringan sosial, ada juga kelompok yang menganggap bahwa dominasi perempuan atas isu-isu domestik seperti di banyak masyarakat yang menganut sistem bilateral, tidak selalu menempatkan perempuan dalam posisi setara dengan laki-laki karena ada perbedaan nilai antara kegiatan domestik dan publik, ada juga yang berpendapat bahwa penilaian atas relasi gender dalam konteks masyarakat tertentu sangat relatif sehingga kesetaraan dan /atau penindasan perempuan juga bersifat relatif.
Sebagai penutup, Dosen Antropologi FIB UGM ini menambahkan tampaknya masih sangat perlu untuk menggarisbawahi bahwa dalam konteks Indonesia kontemporer, perubahan dan keberlangsungan adat-istiadat terutama yang terkait dengan relasi gender tidak dapat dipisahkan dari pengaruh ideologi gender yang dipromosikan oleh pemerintah, khususnya pada periode Orde Baru, interpretasi dan reinterpretasi ajaran agama serta perubahan sosial- budaya masyarakat lokal sebagai akibat dari industrialisasi dan mobilitas serta yang paling banyak dibicarakan saat ini, terhapusnya batas-batas wilayah sebagai akibat globalisasi. “Dengan kondisi semacam ini kelangsungan dan kemampuan masyarakat adat untuk mempertahankan adat-istiadat, dalam hal ini sistem kekerabatan tertentu yang mengatur pola dan dinamika hubungan gender berada dalam posisi kritis. Tidak salah kalau kemudian usaha untuk mendiskusikan feminisme sebagai suatu kesadaran kritis akan adanya ketidaksetaraan gender dan penindasan hak dan martabat perempuan yang diikuti oleh tindakan aktif melakukan perubahan dan mancapai kesetaraan gender dan pembebasan perempuan dari penindasan dalam konteks masyarakat adat yang terus berubah ini perlu dilakukan,” tegas ibu Anna. (Humas UGM)