Pakar komunikasi UGM Dr. Ana Nadhya Abrar., MES., berharap agar para awak media (wartawan) tidak terjebak pada rutinitas. Mereka diharapkan mampu memilah ahal-ahal apa saja yang terkait dengan kepentingan wartawan, media dan khalayak.
Abrar berpendapat dalam menjalankan tugas, wartawan seharusnya melengkapi diri dengan meningkatkan kemampuan analisis. Apalagi, fenomena terakhir memperlihatkan banyak narasumber suka berbohong.
“Kalau kita lihat akhir-akhir ini banyak narasumber suka memanipulasi, suka memanfaatkan peristiwa atau kejadian untuk kepentingannya. Kalau itu dimakan mentah-mentah oleh wartawan maka kasihan para pembaca, karena itu wartawan harus jeli betul, harus bisa memilah ini yang pas diberitakan dan ini tidak,” ujarnya di Fisipol UGM, Selasa (9/2) menanggapi peringatan Hari Pers Nasional, 9 Februari.
Bagi Abrar, berita soal perseteruan Hary Tanoesudibyo dan Jaksa Agung, misalnya, bukanlah berita penting. Menurutnya, kasus ini terus diberitakan maka semakin memberi forum untuk Hary Tanoe menjadi terkenal.
“Orang tentu akan melihat wah hebat nih berani menentang Jaksa Agung. Tapi berita ini sesungguhnya tidak menarik. Tentu akan lebih bermakna jika media menulis tentang dulang emas di luar seputar Freeport atau revisi UU KPK,” katanya.
Demikian juga dengan kasus kematian Wayan Mirna yang diangkat menjadi berita terus-menerus. Media dinilai seolah-olah tidak memiliki berita lain yang lebih menarik dan bermakna. Karena itu, dalam hal kemampuan analisis dan memaknai tugas yang diberikan, wartawan seharusnya tidak membabi buta.
“Apalagi tidak berpikir, lantas yang dipahami kerja media hanya senang, dapat liputan dan medianya semakin populer,” tuturnya.
Untuk itu, bertepatan dengan Hari Pers Nasional, wartawan diharapkan bisa introspeksi. Wartawan paling tidak melakukan pembenahan, betul dan tidaknya yang telah dilakukan selama ini. Bahkan, jika perlu wartawan kembali mengikuti pelatihan jurnalistik.
“Ya “ngecas” lagi. Karena anggapan rutinitas seperti itu, belum tentu benar. Harus mencari sesuatu yang baru,” jelas dosen Ilmu Komunikasi, Fisipol UGM.
Meskipun ada lembaga yang telah memberikan penghargaan kepada tugas wartawan dengan berbagai kategori, menurut Abrar, hal itu belum cukup. Di hari pers, wartawan masih dihadapkan pekerjaan rumah berupa perjuangan kepemilikan saham sebesar 20 persen dari media tempat mereka bekerja.
“Memang ada penghargaan Hadinegoro Award, tapi saya anggap itu hiburan. Andai yang 20 persen kepemilikan andil saham terwujud, tentu cukup menyejahterakan. Kalau saya jadi wartawan mungkin saya akan mengikuti jejak Bambang Wisudo, yang di pecat gara-gara memperjuangkan kepemilikan saham ini,” papar Abrar. (Humas UGM/ Agung)