Sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 1974, novel Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar telah mendapat apresiasi dari berbagai pihak, hingga pada tahun 1976 novel ini disadur menjadi film dengan judul yang sama. Cerita yang mengambil seting kampus UGM pada tahun ’70-an ini menggambarkan kehidupan mahasiswa saat itu dengan segala idealisme, kritik, dan persoalan yang dihadapi. Kini, cerita klasik ini akan dikisahkan ulang sekali lagi dalam bentuk pementasan teater.
Meski menggunakan kata ‘cinta’ dalam judulnya, novel ini bukan sekadar menyajikan kisah romansa anak muda yang penuh dinamika. Lebih dari itu, novel ini memaparkan suatu kritik sosial atas kondisi yang ada. Situasi sosial dan politik pada masa itu berhasil ditangkap oleh Ashadi dalam menggambarkan perilaku tokoh sepanjang alur cerita. “Dalam novel ini kita melihat bahwa gejala otoritarian yang nantinya memuncak pada akhir era orde baru sudah dibaca oleh Ashadi,” ujar pakar kritik sastra dan dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Prof. Dr. Faruk H.T., Selasa (9/2) dalam diskusi di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri (PKKH).
Dalam diskusi bertajuk ‘Menggunjingkan Kembali Cintaku di Kampus Biru Sebagai Penanda Zaman’, ia turut menceritakan suasana UGM pada tahun ’70-an semasa ia kuliah, dan membandingkannya dengan konteks kemahasiswaan saat ini. Ia menjelaskan bagaimana mahasiswa pada masa itu yang menempuh masa studi relatif lama dapat membangun relasi yang kuat dengan dosen, pemilik kos-kosan, sesama mahasiswa, termasuk memberi tempat untuk munculnya romansa di antara para mahasiswa. Hal ini, menurutnya, sulit ditemukan dalam kehidupan mahasiswa saat ini yang cenderung mengejar kelulusan dengan masa studi sesingkat mungkin. Akibatnya, ruang untuk membangun ikatan sosial menjadi terbatas. “Konteks sosial tahun ’70-an dengan sekarang sangat berbeda,” jelasnya.
Meski demikian, karakter dari tokoh-tokoh yang ada masih dapat kita temukan pada mahasiswa saat ini. “Cerita ini masih relevan, dan mahasiswa sekarang bisa dengan mudah mengidentikkan diri dengan tokoh-tokoh yang ada dalam cerita,” ujar Syafiatudina, peneliti kunci Cultural Studies yang juga merupakan alumni UGM. Ia mengaku menemukan banyak kesamaan dengan tokoh Anton, seorang mahasiswa asal Manado yang menemukan banyak hal yang baru ketika datang ke Jogja. Ia menemukan situasi budaya yang berbeda dibandingkan tempat di mana ia lahir dan dibesarkan. Karakter Anton sebagai tokoh utama digambarkan sebagai sosok mahasiswa dengan ambisi yang meluap-luap namun dengan berbagai persoalan yang dihadapi ia pun akhirnya mengalami kekecewaan dan perasaan terkungkung.
Kisah Anton dengan sekelumit drama yang ia hadapi akan diinterpretasikan kembali melalui pertunjukan bertajuk ‘Masihkah Ada Cinta d(ar)I Kampus Biru?’ sebagai sebuah proyek bersama antara Teater Gadjah Mada dengan PKKH UGM yang digelar selama 2 hari, yaitu pada tanggal 11 dan 12 Februari 2016. (Humas UGM/Gloria)