
Program Studi S-3 bidang pendidikan lintas agama atau Indonesia Consortium for Religious Studies (ICRS) memberi perhatian serius terhadap maraknya gejala intoleransi kehidupan agama, kekerasan terhadap kelompok minoritas dan fenomena munculnya ideologi radikal di masyarakat. Prodi yang digagas konsorsium tiga universitas, yakni Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) komitmen untuk terus mendidik calon mahasiswa yang selalu menyebarluaskan pengetahuan, sikap toleransi dan menjunjung tinggi kehidupan beragama.
Demikian yang mengemuka dalam penandatanganan kerja sama antara UGM dan ICRS yang dilakukan oleh Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., dan Ketua ICRS, Dr. Siti Syamsiyatun, yang berlangsung di kantor pusat UGM, Rabu (24/2). Hadir dalam penandatanganan MoU tersebut, antara lain Rektor UKDW, Ir. Henry Feriadi, M.Sc., Ph.D., perwakilan dari pimpinan UIN Sunan Kalijaga serta anggota pengelola ICRS.
Rektor UGM, Dwikorita Karnawati, mengatakan ICRS sudah berdiri kurang lebih selama 10 tahun. Menurutnya, pendirian ICRS ketika itu tidak hanya sekadar sebatas konsorsium kerja sama tiga perguruan tinggi namun mengemban tugas mulia untuk menjaga semangat kebhinekaan anak bangsa. “Konsorsium ini sebagai tempat strategis dan pas dari berbagai latar keagamaan dan budaya untuk bersatu menjaga kebhinekaan negeri ini,” kata Rektor.
Menurut Rektor, kondisi bangsa saat ini tengah diuji oleh berbagai kejadian yang menunjukkan adanya ancaman intoleransi dan gejala radikalisme. Menurutnya, ICRS harus berperan memberikan solusi dengan mencetak lulusan yang bisa membendung ancaman itu dan menyebarkan semangat maupun pengetahuan tentang pentingnya perlindungan negara terhadap seluruh warga negara.
Di tempat sama, Dr. Siti Syamsiatun mengatakan sejak berdiri tahun 2006 sampai saat ini, ICRS telah berhasil meluluskan sebanyak 16 lulusan doktor. ICRS memiliki 84 mahasiswa aktif yang terdiri dari 66 mahasiswa asal Indonesia dan 18 mahasiswa asing. Intoleransi dan ideologi radikal, menurut Siti, merupakan tantangan yang dihadapi oleh setiap lulusan ICRS ketika mereka berada di tengah masyarakat bawah dan berhadapan dengan para pengambil kebijakan. “Kita tahu ada pejabat publik, sulit membedakan antara keyakinan pribadi dengan posisinya sebagai pejabat publik yang seharusnya melindungi seluruh warga negara,” tegasnya.
Tidak hanya melakukan pendidikan dan pengajaran, imbuh Siti, ICRS juga melakukan riset terkait dengan masalah hubungan keagamaan, kebijakan publik dan transformasi sosial di kawasan Asia Tenggara. Riset ini melibatkan peneliti dari 8 negara di Asean dan para peneliti dari Amerika serikat. “Riset ini dimulai sejak 2013 sampai saat ini masih berlangsung,” tuturnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)