Pembangunan desa menjadi salah satu agenda prioritas pemerintah yang terkandung dalam Nawa Cita. Untuk merancang kebijakan pembangunan desa, pemetaan wilayah merupakan salah satu aspek yang diperlukan. Namun, belum semua wilayah di Indonesia terpetakan dengan baik.
“Peta yang sudah dibuat sebelumnya bentuknya masih bermacam-macam, baik dari segi skala maupun metode pembuatannya. Karena itu, perlu ada suatu standar prosedur dan prototipe peta desa sebagai suatu patokan bagi pemetaan desa secara menyeluruh,” ujar Kepala Badan Informasi Geospasial, Dr. Priyadi Kardono, M.Sc., dalam seminar nasional bertajuk ‘Peta Desa untuk Percepatan Pembangunan Desa dan Kawasan Pedesaan’, Rabu(24/2) di University Club UGM.
Seminar yang diselenggarakan atas kerja sama Badan Informasi Geospasial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, serta Fakultas Geografi UGM ini dihadiri oleh para pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan informasi geospasial nasional yang berasal dari beberapa kementerian, perguruan tinggi, asosiasi profesi, pihak swasta, pemerintah daerah, serta masyarakat. Acara ini sekaligus menjadi kelanjutan dari peluncuran peta desa yang telah dilakukan pada 16 Februari yang lalu di Jakarta.
Dalam kesempatan ini, Guru Besar Fakultas Geografi UGM, Prof. Dr. Aris Marfa’i., menyatakan pentingnya pemetaan dalam upaya percepatan pembangunan desa, mengingat lebih dari separuh jumlah desa di Indonesia masih dikategorikan sebagai desa tertinggal. Ia menyebutkan enam urgensi pembuatan peta desa, yaitu untuk mengetahui posisi desa terhadap kawasan di sekitarnya, melihat potensi desa, menyelesaikan sengketa batas wilayah, inventarisasi aset desa dan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa, membantu perencanaan pembangunan infrastruktur desa, serta sebagai dasar informasi untuk integrasi spasial pembangunan wilayah.
Terobosan ini mendapat apresiasi dan dukungan dari Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D. “Langkah ini sangat penting dan perlu segera diimplementasikan. Namun, setelah ada peta, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana peta dapat dimanfaatkan oleh para pamong desa, dan bagaimana peta terus di-update mengikuti perkembangan wilayah yang begitu cepat. Saya kira ini menjadi PR selanjutnya yang harus dipikirkan bersama-sama,” jelasnya.
Sementara itu, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Marwan Jafar, menyatakan pentingnya partisipasi masyarakat desa sebagai penggerak utama pembangunan desa. “Dalam UU No. 6 tahun 2014 tentang desa, desa diberi kewenangan bukan sebagai objek pembangunan, tetapi sebagai subjek dari pembangunan. Pendekatannya adalah bottom-up, partisipatif. Maka, ia diberi kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri sebagai self-governing community dengan berkolaborasi dengan pemerintah di atasnya,” ujarnya.
Peta desa ini akan berkontribusi bagi pengambilan kebijakan-kebijakan penting yang bermanfaat bagi masyarakat, sesuai dengan semangat untuk membangun Indonesia dari pinggiran. Ia pun mendorong universitas, khususnya Fakultas Geografi, untuk menjadi motor dalam pembangunan desa melalui riset-riset yang dikerjakan. “Saya harap universitas dapat memberikan rekomendasi yang penting dan strategis, akan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat pada saat ini dan di waktu mendatang,” jelasnya. (Humas UGM/Gloria)