Yogya, KU
Pakar kedelai UGM Prof Dr Ir Mary Astuti, MS sangat menyayangkan kenaikan harga kedelai yang mencapai 110% telah menyebabkan kelangkaan bahan baku kedelai di pasaran dan menggoyahkan usaha kecil dan konsumen. Menurut Mary, naiknya bahan baku kedelai ini disebabkan kebijakan pemerintah selama ini selalu menggantungkan bahan baku kedelai impor untuk memenuhi 60 persen kebutuhan pasokan kedelai di dalam negeri dan tidak disertai peningkatan produksi di dalam negeri.
“Bahan baku tempe sebagian besar hampir 60 persen semuanya impor, sedangkan sekarang harga kedelai sedang mahal di atas 7 ribu rupiah per kilo sehingga industri kecil yang menggunakan bahan baku kurang lebih 25 kilo belum mampu mampu beroperasi karena harga yang berubah setiap hari, apalagi mereka sudah tidak punya modal lagi membeli kedelainya,†ujar Mary Astuti kepada wartawan, Rabu (15/1) di kampus UGM.
Dikatakan Guru Besar Fakultas teknologi Pertanian UGM, keadaan ini sangat menyedihkan sekali karena kedelai sebagai bahan baku untuk membuat tempe dan tahu merupakan makanan yang dianggap paling murah bagi rakyat.
“Ini sudah gawat sekali, karena tempe dan tahu merupakan sumber protein yang murah bagi masyarakat umum,†tegasnya.
Ketika didesak, mengapa sebelumnya harga kedelai bisa sangat murah dan tidak mengalami kelangkaan dan kenaikan harga yang melambung tinggi seperti yang terjadi sekarang ini. Mary hanya menjelaskan bahwa kedelai impor lebih murah karena dari Negara asalnya sudah mandapat subsidi dari pemerintah dan pengolahannya sudah menggunakan teknologi yang tinggi.
“Kenapa murah, karena kedelai impor menggunakan teknologi yang lebih tinggi, selain itu mendapat subsidi cukup besar dari pemerintah. Namun, ketika di Negara asalnya bermasalah maka kita akan kena getahnya. Sedangkan di kita sendiri, selain lahan-lahan produksi sangat sempit, sarana produksi juga mahal, dan biaya tenaga kerjanya pun juga mahal,†katanya.
Dijelaskan Mary astuti, terjadinya kenaikan bahan baku kedelai juga disertai penurunan produksi kedelai di dalam negeri. Saat ini basis produksi petani kedelai terbesar berada di Jawa Timur yang menguasai 40 persen dari total produksi nasional. Secara rinci dirinya menyebutkan bahwa pulau Jawa memproduksi sekitar 50 persen, Sumatra 10 persen, Sulawesi 5 persen, Papua 2 persen.
“Jadi potensi di luar pulau Jawa perlu ditingkatkan lagi kemampuan produksinya,†tandasnya.
Tidak hanya itu, kata Mary Astuti, petani kedelai juga harus mendapat perhatian serius dan diberi subsidi dari pemerintah dalam rangka meningkatkan jumlah produksi kedelai dalam negeri. Apalagi kemampuan produksi petani kedelai lokal saat ini baru mencapai 1,1 juta ton per hektar jauh dari target yang diharapkan pemerintah sekitar 1,5 juta ton per hektar.
“Jika petani kedelai diperhatikan dengan serius, seperti pengalaman kami mendampingi para petani kedelai hitam ‘mallika’ di daerah Bantul, Nganjuk dan Trenggalek, mereka bisa menghasilkan produksi di atas 2,5 ton per hektar. Bahkan tahun 2006 lalu, petani kedelai di Bantul saja bisa sampai 2,7 ton,†imbuhnya.
Solusi yang ditawarkan oleh mary astuti adalah melakukan upaya intensifikasi lahan termasuk pendampingan kepada petani untuk meningkatkan hasil produksi yang lebih tinggi.
“Jika kita mau dan serius menangani persoalan produksi kedelai ini, maka harus ada bantuan kepada para petani, sedangkan petaninya sendiri harus juga memperhatikan tanamannya secara baik agar hasilnya juga lebih maksimal,†imbuhnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)