Semakin meluasnya deforestasi/ kerusakan hutan alam di Indonesia sebagai akibat dari kebijakan pemerintah, intervensi masyarakat dan pelaku bisnis pemanfaatan sumberdaya hutan. Menurut pemerintah di kawasan Gunung Betung Propinsi Lampung telah terjadi deforestasi, karena lahan tersebut telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kegiatan usaha tani campuran tanaman kebun dan tanaman keras. Sehingga terjadi perbedaan pengetahuan tentang hutan dan deforestasi antara negara /pemerintah. Hal tersebut diungkapkan Ir. San Afri Awang, M.Sc saat menempuh Ujian Terbuka Promosi Doktor dalam bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Ilmu Sosiologi) di Ruang Pascasarjana pada hari Rabu, 29 Juni 2005.
Dalam desertasi berjudul “Negara, Masyarakat Dan Deforestasi: Konstruksi Sosial Atas Pengetahuan Dan Perlawanan Petani Terhadap Kebijakan Pemerintah” dosen Fakultas Kehutanan UGM mengatakan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mencari penjelasan sosiologis tentang pengetahuan masayarakat atas peran negara/pemerintah terhadap deforestasi dan proses-proses deforestasi yang terjadi di dalam kawasan hutan lindung di Lampung. “Selain itu juga bertujuan untuk memaknai pengetahuan negara dan masyarakat tentang deforestasi dan mencari penjelasan sosiologis tentang bagaimana bentuk dan cara perlawanan petani terhadap kebijakan pemerintah, karena hubungan negara dan masyarakat kurang harmonis terkait dengan deforestasi tersebut,” ungkap pria kelahiran 10 April 1957 ini.
Lebih lanjut Anggota Dewan Pertimbangan Sertifikasi Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) menuturkan bahwa dari penelitian ini ditemukan adanya mengkeritik model dominasi pengetahuan tentang hutan dan deforestasi oleh negara/ pemerintah, dan sudah menjadi kewajiban bahwa negara harus belajar dari konstruksi sosial pengetahuan yang berasal dari masyarakat dalam rangka melakukan pengelolaan hutan yang terdeforestasi. Model pengelolaan hutan eco-friendly, yang bercirikan pada kebersamaan antara negara dan masyarakat terhadap pemanfaatan hutan lindung/ konservasi, dengan tetap mempertahankan fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial secara realistik, merupakan jalan terbaik yang harus ditempuh pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan hutan lindung dan konservsi di Propinsi Lampung. “Model ini sudah dilaksanakan oleh masyarakat dalam wujud pengelolaan ekosistem hutan-kebun. Model ini sekaligus merupakan upaya pembebasan dan perlawanan petani terhadap dominasi pengetahuan negara/ pemerintah terhadap strategi pemanfaatan sumberdaya hutan lindung/ konservasi,” ujar doktor ke-642 yang diluluskan UGM ini.
Doktor dengan predikat Cum-laude ini juga menambahkan bahwa model pengelolaan hutan eco-friendly ini sangat diperlukan masyarakat sekitar hutan, sebab model ini diyakini akan memberikan manfaat bagi penyelesaian konflik berkepanjangan dalam kawasan hutan lindung yang luasnya sekitar 320.000 ha di Lampung, yang didalamnya dihuni oleh paling sedikit 90.000 kepala keluarga atau sekitar 450.000 jiwa penduduk. (Humas UGM)