
Fakultas Ilmu Budaya UGM pada tahun ini merayakan Dies Natalisnya yang ke-70. Fakultas yang berdiri pada 3 Maret 1946 dengan nama Faculteit Sastra, Filsafat, dan Keboedajaan ini pernah berganti nama sampai lima kali sebelum mulai menggunakan nama Fakultas Ilmu Budaya pada tahun 2001. Selama 70 tahun fakultas ini mengemban mandat pendidikan dan berbagai perkembangan terus dilakukan untuk mengikuti dinamika kebudayaan serta perubahan dalam masyarakat.
“Lembaga ini tentu telah menyaksikan pergantian generasi demi generasi ilmuwan, mengarungi cakrawala ilmu budaya yang begitu dinamis, dan beradaptasi pada lingkungan masyarakat yang senantiasa berubah,” ujar Dr. Daud Aris Tanudirjo, M.A., saat menyampaikan pidato ilmiah pada Rapat Senat Terbuka dalam rangka Dies Natalis FIB, Kamis (3/3) di Auditorium Purbacaraka.
Dalam pidatonya ia menyampaikan refleksi kebudayaan dari postmodernisme hingga pseudosains dengan memusatkan perhatian pada unsur-unsur kebudayaan yang terkait dengan kegiatan di lembaga perguruan tinggi. “Berkarya dalam dunia ilmu pengetahuan atau sains tidak dapat dipisah dari kondisi keadaan sosial dan budaya masyarakat,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Dekan FIB, Dr. Pujo Semedi Hargo Yuwono, M.A., menyampaikan laporan mengenai apa yang telah dikerjakan oleh fakultas sejak tahun 2015 silam. Dalam satu tahun terakhir, menurutnya, fakultas banyak mengalami kemajuan baik dalam bidang akademik, kurikulum, penelitian, pengabdian masyarakat, kualitas sumber daya manusia, maupun dalam sarana dan prasarana fakultas.
Untuk terus meningkatkan kinerja fakultas, kata Pujo, berbagai perkembangan akan dilakukan di waktu mendatang. Dari segi kurikulum, Pujo menyampaikan rencana pengurangan jumlah mata kuliah di program studi. Langkah ini bertujuan untuk lebih mendorong mahasiswa agar dapat memperluas pengalaman akademik mereka dengan bertandang ke program studi serta fakultas lain.
“Peningkatan efisiensi kurikulum juga akan mengurangi beban mengajar dosen hingga ke tingkat ideal sesuai dengan batas minimum universitas. Dengan demikian, ke depan dosen akan mendapat lebih banyak waktu untuk riset dan menulis,” jelasnya.
Ia pun menyoroti pentingnya mengajarkan kecakapan sosial bagi mahasiswa seperti sikap santun, cakap bekerja sama, dan mampu mengakomodasi perbedaan pandangan, cerdik mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi maupun kelompok. Hal ini perlu diperhatikan, karena kepribadian merupakan salah satu faktor terbesar yang menjadi kunci keberhasilan dalam mendapatkan pekerjaan dan mengembangkan karier. Untuk itu, ia mendorong dosen agar dapat meluangkan waktu untuk berinteraksi bersama mahasiswa.
“Mahasiswa ini kan mahasiswa kita semua, amanat kita semua, bukan hanya amanat untuk pengurus fakultas. Bila menyaksikan mereka bertindak kurang patut ya dipanggil, ditegur, dan diminta memperbaiki sikap. Harapannya, kelak setelah lulus, mereka tidak menjadi orang yang pandai secara akademik dan lihai berpolitik tetapi miskin tata krama,”tambahnya. (Humas UGM/Gloria)