Salah satu agenda prioritas pemerintah untuk meningkatkan inovasi daya saing produk lokal di pasar internasional adalah pengembangan kekayaan intelektual. Namun, sampai saat ini pemanfaatan kekayaan intelektual Indonesia masih sangat minim, dengan kontribusi kekayaan intelektual yang hanya mencapai 1% dari total PDB Nasional. Dalam Global Innovation Index pada tahun 2015, Indonesia hanya berada di urutan ke-97 dari 141 negara, lebih rendah dari peringkat negara-negara tetangga seperti Singapura yang berada di peringkat ketujuh, Malaysia di urutan ke-32, serta Vietnam di urutan ke-52.
Hal ini disampaikan Plt. Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri, Duta Besar Salman Al Farisi, dalam Forum Kajian Kebijakan Luar Negeri (FKKLN), Kamis (10/3) di Hotel Harper Mangkubumi. Forum yang diselenggarakan oleh BPPK Kementerian Luar Negeri bekerja sama dengan Institute of International Studies, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UGM ini mengambil tema ‘Pengembangan Rezim HAKI: Peningkatan Inovasi dan Daya Saing Produk Indonesia’.
“Kita perlu menyadari perlunya penguatan sistem kekayaan intelektual nasional jangka panjang yang lebih komprehensif. Untuk mendukung upaya tersebut, diplomasi Indonesia diarahkan untuk memperjuangkan kepentingan nasional pada rezim kekayaan intelektual internasional,” ujarnya saat membuka forum.
Sementara itu, Dr. Poppy S. Winanti, S.IP., MPP memaparkan analisis pemanfaatan kekayaan intelektual Indonesia bagi pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 1986-1994 ketika negosiasi tentang perjanjian perlindungan terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) muncul dalam organisasi perdagangan dunia, hal yang dijadikan perdebatan adalah keuntungan ekonomi yang bisa diperoleh, khususnya bagi negara yang sedang berkembang. Perlindungan HAKI disebut dapat mendorong munculnya foreign direct investment di negara sedang berkembang, selain juga memungkinkan adanya transfer teknologi.
Masyarakat, menurut Poppy, secara budaya belum terbiasa untuk mendaftarkan suatu produk sebagai kekayaan intelektual. “Misalnya tanaman obat-obatan keluarga, masyarakat tidak berpikir untuk mendaftarkannya sebagai kekayaan intelektual karena sebelumnya hal ini hanya sesuatu yang dikonsumsi secara pribadi. HAKI baru menjadi perhatian jika suatu produk telah memiliki nilai komersial dan ada pihak yang akan diuntungkan,” jelas Kepala Departemen Hubungan Internasional FISIPOL UGM ini.
Hal serupa disampaikan oleh Direktur Kerja Sama dan Pemberdayaan Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM, Parlagutan Lubis, S.H., M.H. Ia menyayangkan masyarakat yang belum terlalu memahami hal-hal apa saja yang dapat dikategorikan sebagai HAKI, serta pentingnya mendaftarkan suatu karya sebagai produk kekayaan intelektual “Sebenarnya undang-undangnya sudah ada, sudah kami susun. Tapi, belum banyak orang yang mendaftar,” ujarnya.
Melalui penyelenggaraan forum ini, BPPK berupaya untuk mendukung optimalisasi pemanfaatan rezim HAKI dalam mendukung kepentingan nasional, khususnya pembangunan ekonomi. FKKLN diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi terkait strategi nasional yang komprehensif untuk pengembangan tiga pilar kekayaan intelektual, yaitu pengembangan inovasi, peningkatan proteksi kekayaan intelektual, serta penguatan komersialisasi. “Masih terdapat ruang bagi Indonesia untuk terus mengembangkan, mendorong, dan melindungi inovasi serta meningkatkan daya saing melalui kekayaan intelektual,” tambah Salman. (Humas UGM/Gloria)