Wisatawan merupakan komunitas wisata yang kedatangannya bersifat temporer dan dalam waktu terbatas. Umumnya mereka menginginkan atraksi (khususnya budaya, seni, dan fasilitas pendukung yang memadai) yang ditawarkan oleh daerah destinasi wisata.
Salah satu pendukung pariwisata adalah cinderamata. Wisatawan menghendaki cinderamata sebagai tanda kenang-kenangan dari perjalanannya, baik untuk diri sendiri, keluarga maupun sahabat-sahabat mereka.
Menurut Drs Wahyu Tri Atmojo MHum, dosen Jurusan Seni Rupa FBS Universitas Negeri Medan (UNIMED) bahwa dengan cinderamata akan membangkitkan kembali kenangan-kenangan sehingga suatu saat timbul keinginan untuk mengunjunginya kembali. Terhadap berbagai ragam cinderamata tersebut, nampaknya wisatawan menghendaki yang otentik, memiliki ciri khas dan diproduksi masyarakat setempat.
Seni yang otentik dan memiliki ciri khas tertentu serta diproduksi masyarakat setempat, kebanyak masih bertautan erat dengan tradisi yang di dalamnya memiliki nilai-nilai sakral, magis, dan simbolis. Bagi masyarakat Gianyar, benda-benda sakral yang masih dijunjung tinggi dan dihormati adalah barong dan garuda.
“Bagi masyarakat Hindu Dharma, barong merupakan suatu mahluk mitologis yang sakral dan dianggap sebagai simbol kebaikan serta memiliki kekuatan magis. Kekuatan magis barong berada pada punggalan barong, khususnya pada mata, gigi, dan bulu janggut. Barong juga diyakini mampu mengenyahkan malapetaka dan melenyapkan wabah penyakit,” ujar Wahyu Tri Atmojo, Senin (26/11) saat ujian terbuka program doktor di Sekolah Pascasarjana UGM.
Katanya, perubahan drastis terhadap bentuk, fungsi, dan teknik pembuatan barong sebagai benda sakral terjadi pada bidang seni kerajinan kayu. Barong yang sakral itu dijadikan objek pengimitasian dalam proses pembuatan cinderamata sebagai produk seni wisata.
“Secara visual dibagi menjadi dua, yakni barong yang dibuat sebagai cinderamata yang mengacu pada bentuk keseluruhan maupun hanya punggalannya saja,” tambah pria kelahiran Sukoharjo 8 Juli 1968 ini.
Sementara proses visualisasi motif garuda sebagai benda sakral dapat dilihat pada Garuda sebagai simbol suci, garuda sebagai simbol pelepasan roh, dan garuda sebagai simbol kehidupan dan status sosial.
Kata Wahyu, kelangsungan garuda sebagai benda suci sakral, oleh masyarakat penyangganya diyakini akan tetap hidup dan berkembang walaupun harus hidup dan bersaing di zaman yang berbeda. “Ketika orientasi masyarakat bergeser dari kepentingan spiritual ke material, di dalamnya terjadi perubahan yang selaras dengan situasi dan kondisi zamannya. Perubahan yang terjadi selaras dengan pola piker dan orientasi masyarakat setempat yang dipengaruhi oleh factor intern dan ekstern,” tambahnya lagi.
Lebih lanjut, Wahyu Tri Atmojo mengungkapkan faktor yang berpengaruh terhadap kelangsungan serta perubahan barong dan garuda sebagai benda cinderamata adalah perajin dan pemerintah. Perajin menjadi faktor penting sebagai pelaku budaya dalam menjaga kelangsungan dan perubahan seni kerajinan kayu yang produknya dalam bentuk cinderamata dengan mengacu pada benda sakral. Kreativitas yang dimilikinya turun temurun dan mampu menciptakan seni kerajinan kayu yang produknya dalam bentuk cinderamata untuk memenuhi kebutuhan komunitas wisatawan.
“Pengimitasian barong dan garuda sebagai benda cinderamata merupakan usaha untuk menjaga kelangsungannya, sedangkan perubahannya sudah tidak lagi menciptakan untuk kepentingan ritual tetapi untuk memenuhi kebutuhan komunitas wisatawan sebagai jawaban dari dampak yang ditimbulkan oleh dunia pariwisata yang melanda di kawasan Gianyar,” tandas Wahyu yang dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan. (Humas UGM).