Yogya, KU
Sebanyak 383 penderita HIV/AIDS berada di Yogyakarta. Namun dari keseluruhan penderita tersebut belum semuanya terdeteksi. Menurut peneliti AIDS dari Universitas Gottingen Jerman Thomas Stodulka, M. A, banyak dari penderita yang masih enggan dan malu mengakui bila dirinya sudah positif HIV/AIDS.
“Perasaan malu menjadi bagian yang terpisahkan dari para ODA (penderita HIV/AIDS), karena besarnya stigma yang diberikan oleh masyarakat kepada mereka apalagi dengan anggapan bahwa penyakit ini menentukan persoalan hidup dan mati,” ujar Thomas Stodulka, M. A, Rabu (12/12) dalam diskusi “The Anthropology of AIDS a matter of Life and Death?” di ruang seminar Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada.
Menurut Thomas, pola pikir ini mayoritas masyarakat DIY inilah merupakan fenomena yang sama terjadi di masyarakat dunia.
“HIV-AIDS bukanlah hanya fenomena dan masalah local, tetapi juga global. Hampir semua negara menghadapi hal yang sama,” tukasnya.
Selama dua tahun penelitian di DIY, Thomas mengaku dirinya lebih memfokuskan pada penderita HIV AIDS dari sisi antropologi emosi.
“Saya khususkan pada kasus HIV/AIDS, lebih difokuskan pada antropologi emosi. Saya pikir ini memang ada jawabannya, karena emosi berhubungan dengan lingkungan biologis, sosial dan budaya,” ujarnya.
Berdasarkan pengalamannya, perasaan “malu” begitu menguat di lingkungan ODA. Terutama pada keluarga dan sanak saudara. Bahkan bagi mereka yang menderita sakit HIV, TBC, Diabetes, flu burung pun menurutnya tetap saja memiliki perasaan malu yang akan mempengaruhi identitas mereka.
“Di sini, masyarakat mengevalusai individu, sehingga menimbulkan stigma dan merusak idetitas individu tersebut,” tegasnya..
Selain itu, dirinya masih menyesalkan bahwa penanganan HIVAIDS selalu ditindaklanjuti setelah ada laporan angka penderita ODA meningkat cukup besar. Disebutkan Thomas, Pemerintah, lembaga internasional, LSM dan masyarakat terkesan akan bertindak jika angka kasus yang dilaporkan sangat tinggi, padahal angka tersebut belum tentu benar.
“Biasanya mereka akan gerak kalo angka sudah tinggi, misalkan saja ada survei yang menyebutka 25 persen penduduk DIY penderita AIDS/HIV, dipastikan semua elemen masyarakat bertindak, dan menganggap ini persoalan semua orang,” katanya.
Hal yang sama juga disampaikan Ani Himawati peneliti dari Universitas Leiden, Belanda. Menurutnya, ada kekhawatiran berlebihan dari masyarakat agar kampanye HIV/AIDS ini tidak memasuki wilayah yang masih dianggap tabu dan privat.
“Ada kekhawatiran dari masyarakat yang masih enggan membicarakan sesuatu yang sufatnya memasuki wilayah tabu dan privasi,” tegasnya.
Menurut Ani, sudah saatnya masyarakat diajak untuk tidak lagi malu mengakui secara terbuka jika mereka sudah tertular, sehingga HIV/AIDS bukan lagi bersifat ekslusif tapi merupakan persoalan semua orang. (Humas UGM/Gusti Grehenson)