Dalam keseharian, kita biasanya menyebut gigi molar ketiga sebagai gigi geraham bungsu. Penyebutan ini mungkin disebabkan oleh karena gigi ini merupakan gigi yang tumbuh terakhir selama hidup manusia.
Filosofi Jawa menyebut istilah khusus untuk gigi molar ketiga mandibula yaitu bam wekas. Orang Jawa meyakini bila bam wekas tersebut keluar, berarti pamornya telah pecah.
“Ekspresi ini dimaksudkan untuk menunjukkan kematangan fisik seorang remaja. Dalam hal ini jika seorang gadis maka akan semakin cantik dan seorang pemuda akan semakin ganteng dan menarik,” ujar Prof drg Soelistiono SpBM(K), Rabu (9/1) di ruang Balai Senat UGM.
Terlepas dari filosofi-filosofi tersebut, kata Prof Soelistiono kondisi sesungguhnya bertolak belakang dengan kenyataan sehari-hari. Bahwa gigi molar ketiga sering dianggap sebagai pembawa masalah.
“Gigi molar ketiga dapat menyebabkan gangguan keharmonisan alat pengunyahan dan status kesehatan umum serta seringkali menjadi penyebab komplikasi pada individu yang bersangkutan. Dari segi perawatan, gigi molar ketiga mempengaruhi rencana dan perawatan dalam semua bidang kedokteran gigi dan menjadi faktor utama dilakukannya operasi gigi,” ujarnya lagi.
Ketua SMF Bedah Mulut RS Sardjito ini, menyampaikan hal itu saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Kedokteran Gigi UGM. Dosen teladan tahun 1982 ini mengucap pidato “Penatalaksanaan Gigi Impaksi Molar Ketiga Mandibula Sebagai Penyebab Gangguan Keharmonisan Alat Pengunyahan Dan Status Kesehatan Umum”.
Menurut Prof Soelistiono, gigi impaksi seringkali tidak sakit dan tidak memperlihatkan persoalan. Meski begitu, beberapa ahli percaya bahwa gigi impaksi mendorong gigi tetangganya, sehingga menyebabkan misalignment of bite.
“Yaitu gigi yang tumbuh sebagian menyebabkan timbunan makanan, plak dan debris lain pada jaringan sekitar gigi, sehingga menyebabkan inflamasi dan tanderness pada gingival dan bau mulut yang tidak enak. Yang sering disebut sebagai perikonitis,” tutur Council members of The Asian Oral and Maxillofacial Surgery ini.
Dalam keterangannya, perikonitis merupakan inflamasi (peradangan) di sekitar mahkota gigi. Perikonitis terjadi pada tahap erupsi saat folikel gigi terbuka dan berkontak dengan cairan rongga mulut.
“Seringkali gigi hanya erupsi sebagian tetapi di banyak kasus mahkota gigi tidak terdeteksi di dalam mulut, meski menggunakan alat probe sekalipun,” lanjut Prof Soelistiono.
Kata suami Hj Filin Sofiah, perikonitis dapat bersifat akut dan kronis. Gejala utama pada tahap akut adaah rasa nyeri sedangkan perikonitis kronis hanya menunjukkan sedikit gejala. Eksudat dapat terjadi pada kedua tahap ini.
Gejala pada tahap-tahap awal mungkin tidak berbeda dengan gejala pada proses tumbuh gigi (teething). Pertama kali individu menyadari tumbuhnya gigi atau area di sekitar gigi kemudian timbul rasa sedikit tidak nyaman yang dirasakan semakin bertambah parah karena area retromolar tergigit atau tertekan.
“Tahap berikutnya timbul nyeri dan terbatasnya gerakan rahang. Agaknya hal ini disebabkan oleh stimulasi reseptor syaraf nyeri, namun bisa juga karena stimulasi otot terdekat yaitu otot temporalis. Oleh karena itu observasi menggunakan elektromiograf diperlukan pada kondisi seperti ini,” tandas ayah empat anak ini.
Sebagai pendekatan terakhir pencegahan perikonitis adalah mengambil semua molar ketiga. Selain dengan cara pengambilan gigi saat pasien berumur 9 tahun, maka bisa pula dilakukan pengambilan gigi sesaat sebelum mahkota terbentuk sempurna.
“Tahap ketiga perawatan adalah pengambilan gigi dengan operasi saat pasien telah menginjak dewasa. Pada tahap ini hampir tidak ada masalah berkenaan tentang prediksi terjadinya impaksi, malah banyak gigi yang terlanjur impaksi. Banyak yang berpendapat bahwa waktu paling baik untuk operasi adalah pada saat pembentukan gigi mencapai tahap 2/3 pembentukan akar sebelum akar tersebut membentuk kurva puncak akar dan sebelum saluran syaraf gigi inferior menembusnya,” tukas Prof Soelistiono. (Humas UGM).