Yogya, KU
Besarnya ongkos pelaksanaan pilkada dan biaya yang mesti dikeluarkan seseorang untuk menjadi kandidat, menyebabkan lahirnya kepala daerah terpilih yang terbebani secara ekonomi dan politik. Beban ini akan mengganggu kinerja birokrasi daerah menjadi lebih buruk karena dana birokrasi terkuras oleh dana pilkada. Selan itu, birokrasi juga dimanfaatkan oleh kepala daerah terpilih nantinya sebagai jalan untuk mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan.
Demikian yang diungkapkan oleh pakar administrasi publik UGM Prof Dr Warsito Utomo usai memberikan kuliah umum ‘Mengkaji Ulang Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Di Indonesia, Senin (21/1) di Gedung MAP UGM.
“Politik biaya tinggi ini menyebabkan tidak efektifnya pelaksanaan kerja birokrasi di pemerintahan. Sesungguhnya persoalan birokrasi di daerah saat ini sudah masuk ke ranah persoalan beban politik dan ekonomi kepala daerahnya,” katanya.
Warsito beralasan karena uang yang dihabiskan untuk biaya pilkada bersumber dana birokrasi (APBD) di daerah. Kedua, mau tidak mau birokrasi menginginkan yang menang dalam pilkada mem-back up kerja birokrasi. Ketiga, para aparat birokrasi yang ahli dalam pemerintahan bisa mempengaruhi kepala daerah yang hanya bisa menguasai keahlian hanya di bidang politik.
Warsito berharap, pelaksaan biaya tinggi di Pilkada sudah saatnya bisa dikurangi agar proses pilkada bisa berjalan lebih baik lagi kualitasnya dan juga dalam rangka menghilangkan kesan bahwa calon yang memiliki dana besar saja bisa ikut dalam pemilihan.
“Sekarang ini khan ada kesan bahwa orang yang bisa jadi calon adalah mereka yang kaya. Ini yang menjadi sulit,” jelasya.
Warsito menambahkan, politik biaya tinggi ini muncul sejak otonomi daerah digulirkan sehingga memberikan kewenangan bagi daerah untuk memilih kepala daerahnya masing-masing. Namun dalam prakteknya telah banyak terjadi interaksi politik dimana terjadi tarik menarik kepentingan daripada penguatan administrasi di daerah, distribusi pendapatan dan pembagian kekuasaan.
“Hanya sekarang rule of game yang perlu diperbaiki, karena orang memilih kepala daerah karena calonnya punya banyak uang, bukan karena kemampuan dan kapasitas,”urainya.
Berlarutnya berbagai sengketa pilkada seperti yang terjadi di Sulsel, menurut warsito, lebih disebabkan ketidakdewasaan dan ketidaksiapan para calon di daerah untuk menerima kekalahan. Selain itu, persoalan yang berhubungan dengan penegakan aturan administratif dalam pilkada oleh KPUD dinilai sangat lemah.
“Jika sudah dimulai oleh dua hal ini, maka yang terjadi adalah kericuhan,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)