Sebagai sebuah presentasi artistik maupun pengiring upacara ritual, dramatari klasik Gambuh masih dipentaskan hingga kini. Dramatari klasik Gambuh di Bali yang telah lama usianya ini, tidak hanya memperkenalkan cerita sebagai lakon, namun memperkenalkan pula sebuah koreografi tari yang rumit dan menampilkan yang artistik. Baik untuk hiburan raja maupun para bangsawan kerajaan lainnya.
Bentuk pertunjukkan Gambuh memiliki standar kualitas tari tertentu yang menjadi cirinya, yaitu memiliki struktur pertunjukkan dan koreografi serta iringan musik yang pasti, perbendaharaan gerak yang lengkap dengan aturan-aturan yang ketat, yang tidak dimiliki oleh tari Bali sebelumnya. Begitu pula dengan kostumnya yang sangat megah dengan kekhasan bentuk gelungan di setiap karakternya.
“Hal ini yang membedakan gambuh yang dilestarikan di Bali dengan gambuh yang dilestarikan di Jawa Timur dan Madura, yang hanya berbentuk tarian lepas berupa tari perang-perangan,” ujar Suasthi Widjaja, Jum’at (25/1) di Sekolah Pascasarjana UGM.
Dosen Institut Seni Indonesia, Denpasar NLM Suasthi Widjaja SST MHum mengatakan hal itu saat mempertahankan desertasi “Dramatari Gambuh Dan Pengaruhnya Pada Dramatari Opera Arja”. Dalam ujian terbuka program doktor antar bidang ini, bertindak selaku promotor Prof Dr RM Soedarsono dan ko-promotor Prof Dr C Soebakdi Soemanto SU.
Kata Suasthi, sebagai sebuah total theater, gambuh yang terbentuk di Bali menjadi sumber yang mempengaruhi bentuk-bentuk seni lain yang muncul kemudian. Salah satu dramatari yang mendapat pengaruh Gambuh adalah dramatari opera arja.
“Arja adalah dramatari opera yang menggunakan tembang dan dialog sebagai media ungkap lakon. Dilihat dari bentuk pertunjukkannya, arja sekarang dengan pertunjukkan yang pada mulanya masih disebut dadap, nampak terdapat perbedaan yang mencolok,” ujar Suasthi lagi.
Hal ini menunjukkan terbentuknya dramatari opera arja, telah melalui suatu proses tranformasi dalam rentang waktu yang cukup lama. Menurutnya, dramatari arja yang muncul dikalangan masyarakat jelata, sebagai pertunjukkan yang sederhana telah berubah secara bertahap menjadi seni pertunjukkan yang memiliki unsur-unsur pokok gambuh.
“Yaitu dalam bentuk yang lebih menarik, sesuai dengan zamannya. Hal ini juga diakibatkan peran istana dan keterlibatan para tokoh gambuh dalam proses pembentukannya,” tutur perempuan kelahiran Denpasar, 23 mei 1949 ini.
Dalam penelitian Kepala UPT Pusat Dokumentasi Seni Lata Mahosadhi (1992-1998) ini, ditemukan sebuah lontar Dharma Pagambuhan yang sangat berarti bagi dunia seni pertunjukkan di Bali. Ditemukannya lontar Dharma Pagambuhan memperkuat asumsi, bahwa gambuh adalah sumber tari dan dramatari Bali yang muncul kemudian. “Oleh karena sesajen yang dimuat dalam lontar ini juga dipersembahkan oleh genre seni pertunjukkan lainnya ketika melakukan pekerjaan,” ujar istri Prof Dr I Made Bandem MA ini.
Ibu tiga anak, Dr Ary Widhyasti Bandem Mkes SpKK, I Made Marlowe Makaradhwaja Bandem Bbus dan Ni Nyoman Warastrasari Dewi Bandem SE,Ak ini, dalam kesimpulannya mengatakan gambuh di Bali yang berasal dari zaman Jawa-Hindu di Jawa Timur, telah mengalami perubahan dan perkembangan, yaitu meleburnya antara pengaruh luar (Jawa Timur) dengan Budaya Bali. Keduanya telah menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Bahwa, dramatari gambuh yang diwarisi di Bali, lahir dari hasil penyatuan dua budaya tersebut, yang kemudian melahirkan kehidupan baru dalam seni pertunjukkan di Bali selanjutnya.
“Gambuh sebagai hasil karya cipta seni yang adiluhung memiliki unsur-unsur teatrikal yang lengkap yang menjadikannya sumber tari dan dramatari Bali kemudian,” tandas Suasthi Widjaja, yang pernah mengajar tari Bali di Wesleyan University, Connecticut USA tahun 1977-1980, yang dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan ini. (Humas UGM)