Yogya, KU
Pakar studi ketahanan pangan UGM Dr Ir Eni Harmayani, MSc sangat menyayangkan sampai saat ini pemerintah belum mampu mangatasi kelangkaan dan kenaikan harga pangan di pasaran. Bahkan upaya pemerintah menghapus biaya masuk impor pangan, dinilainya sebagai kebijakan darurat pemerintah yang sifatnya sporadis jangka pendek.
“Kebijakan pemerintah selama ini sifatnya sporadis, bersifat sementara dan tidak pernah berupaya membuat kebijakan yang sifatnya jangka panjang untuk mewujudkan kemandirian pangan,” katanya.
Bahkan, Eni sangat menyesalkan jika rakyat kini mesti memenuhi kebutuhan pangannya harus bergantung dengan bangsa lain, karena pemerintah tidak bisa lagi memenuhi ketersediaan dan akses pangan bagi rakyat.
“Sangat ironi, ini sudah menyangkut masalah martabat bangsa karena pemerintah kita tidak bisa lagi memberi makan bangsanya sendiri. Malah sekarang kita mesti bergantung dengan bangsa lain,” kata Eni kepada wartawan, Kamis (31/1) saat ditemui di Fakultas Teknologi Pertanian UGM.
Dijelaskan kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM ini, penyebab kelangkaan dan kenaikan harga pangan saat ini akibat program revitalisasi pertanian yang sudah dicanangkan pemerintah tidak berjalan sebagaimana yang telah diinginkan.
“Pemerintah jauh-jauh hari sudah mencanangkan program revitalisasi pertanian, tetapi dalam pelaksanaannya masih sepotong-sepotong dan tidak menyeluruh,” tegasnya.
Selain itu, kata dosen jurusan Teknologi Hasil Pertanian ini, program pembangunan sektor pertanian juga terkesan asal jalan. Beberapa contoh yang disebutkan Eni, pemberian benih, pupuk dan pelaksanaan lelang benih dilakukan setelah memasuki masa tanam.
Karena itu, kata Eny, sudah saatnya pemerintah memperhatikan tentang kebijakan food industry (industri pangan) dan food supply (ketersediaan pangan) dengan serta merta melibatkan petani, para akademisi, para pengusaha, dan pemerintah secara berkesinambungan.
“Terpenting kita memperkuat infrastruktur pertanian, pemberdayaan petani, perbaiki sistem produksi, dilakukan dengan bergandengan tangan melibatkan semua pihak. Masing-masing saling membangun trust, demi mensejahterahkan masyarakat,” katanya.
Dirinya mencontohkan beberapa kebijakan pertanian di Thailand dalam membangun sektor pertanian.
“Di Thailand, pemerintahnya membantu membangun pipa pengairan, memberi fasilitas gratis untuk biaya angkut hasil panen, para pengusaha memberikan kemudahan dan tidak menciderai kepercayaan para petani, pihak akademisi membantu dan mendampingi petani dalam hal penerapan teknologi, sedangkan petani diberikan kepastian harga dan peningkatan kesejahteraannya, ” jelasnya.
Sebaliknya, di Indonesia kata Eni, semua pihak seolah berusaha saling menipu, dan saling tidak percaya satu sama lain. (Humas UGM/Gusti Grehenson)