Yogya, KU
Pakar kebijakan publik UGM Prof Dr Agus Dwiyanto menilai draft RUU pelayanan publik yang sedang dalam pembahasan DPR dan Pemerintah perlu ditinjau ulang karena banyak aturan-aturan dalam RUU tersebut yang masih belum menyentuh secara substansial konsep pelayanan publik.
“RUU ini sangat minimalis, mengapa saya katakan minimalis, karena dalam beberapa pasal dan ayat dalam draft RUU itu dikatakan publik harus partisipatif sehingga penyelenggara pelayananan bisa memperhatikan aspirasi publiknya,†jelas Agus Dwiyanto dalam Seminar ‘Public Trust’ di Gedung Magister Studi Kebijakan UGM, Kamis (17/1).
Padahal, praktik pelayanan publik harus melibatkan publik secara keseluruhan bukan hanya sekedar mendengar aspirasi publik.
“Dalam draft RUU tersebut, sepertinya pemerintah pusat tidak mau belajar dari kemajuan yang sudah dilakukan di daerah, saya sebelumnya sudah mengatakan kepada anggota DPR bahwa RUU ini banyak mengalami ketertinggalan dan tidak sesuai dengan praktik yang berkembang di dunia saat ini,†tukasnya.
Menurutnya, jika substansi dalam RUU tersebut tidak banyak mengalami perubahan maka RUU pelayanan publik ini banyak mengalami ketertinggalan dengan praktik pelayanan publik yang ada di daerah. Dirinya mencontohkan perda pelayanan publik yang dilakukan di provinsi Jawa Timur dinilainya jauh lebih maju daripada draft RUU yang ditawarkan oleh pemerintah.
“Jawa timur bahkan sudah mengembangkan perda pelayanan publik yang jauh lebih maju dari pemerintah pusat,†tegasnya
Dalam presentasi makalah yang disampaikan dalam seminar tersebut, Agus Dwiyanto menegaskan kembali bahwa sekarang ini telah terjadi krisis kepercayaan publik yang sangat kompleks dan multisektoral terhadap pemerintah dan lembaga sosial politik lainnya.
“Krisis kepercayaan ini terkait dengan kegagalan pemerintah dan lembaga lainnya dalam memenuhi harapan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan publik,†tegasnya.
Selain itu, kata agus, tingginya ketidakpuasaan publik juga dikarenakan semakin tingginya aspirasi masyarakat terhadap pelayanan publik yang membuat pemerintah kesulitan untuk memenuhi harapan warga akan kualitas dan pelayanan publik.
“Semakin tinggi pendidikan dan akses warga terhadap teknologi informasi maka akan memberikan kemampuan kepada mereka untuk mendefinisikan kualitas dan standar pelayanan yang tinggi itu sendiri,†katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)