Pada tahun akademik 2007/2008, pembelajaran di Fakultas Ilmu Budaya UGM ditandai oleh satu perubahan penting terkait diberlakukannya kurikulum berbasis kompetensi untuk mahasiswa baru jenjang S1. Kurikulum ini menjadi bagian dari FIB UGM untuk membekali para lulusannya dengan kompetensi dan kompetensi lain yang lebih baik, serta bermanfaat ketika harus berhadapan dengan berbagai perubahan dan kompetisi di tingkat nasional maupun global.
Menurut Dekan FIB UGM Prof. Dr. Syamsul Hadi, S.U., M.A, kurikulum baru ini sangat menekankan proses pembelajaran yang didukung oleh pembelajaran berbasis penelitian dan berpusat pada mahasiswa, yang memanfaatkan secara seoptimal keunggulan dosen. Keberadaan kurikulum baru ini juga berkaitan dengan kebijakan pengintegrasian kurikulum dan manajemen program sarjana dan pascasarjana yang telah dicanangkan oleh UGM.
“Oleh sebab itu, dalam waktu dekat juga akan segera dilakukan penataan kurikulum pada jenjang pascasarjana,” ujarnya.
Hal itu disampaikannya saat membaca Laporan Dekan Tahun 2008, pada puncak peringatan Dies ke-62 Fakultas Ilmu Budaya, Senin (3/3) di fakultas setempat.
Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, kata Syamsul, berdasar kurikulum baru ini para mahasiswa S1 tidak lagi dibebani mata kuliah yang sangat banyak di setiap semesternya. “Para mahasiswa hanya mengambil rata-rata 5 sampai 7 mata kuliah setiap semester, berbeda dengan krikulum lama yang menerapkan 10 – 12 mata kuliah. Hal ini diharapkan memberi kesempatan kepada setiap mahasiswa untuk menguasai bidang ilmunya secara lebih mendalam,” katanya.
Beberapa perbaikan dan penyesuaian pun telah dilakukan di beberapa mata kuliah pada kurikulum baru. Perbaikan dan penyesuaian ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi umum para lulusan FIB UGM.
Kata Prof. Syamsul, salah satu diantaranya adalah kemampuan berbahasa Inggris para mahasiswa dan lulusan. “Selain menambah jumlah SKS mata kuliah Bahasa Inggris, kurikulum baru ini juga mewajibkan setiap program studi non Inggris, untuk mengintegrasikan pembelajaran bahasa Inggris ke dalam mata kuliah lainnya, termasuk kewajiban untuk memiliki minimal satu mata kuliah yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar,” jelasnya saat membacakan beberapa bagian laporannya dihadapan rapat Senat Terbuka fakultas.
Meski begitu, kata dia, kurikulum baru tetap memberi tempat yang penting bagi mata kuliah “Bahasa Indonesia” yang telah mengalami perbaikan pada tujuan dan substansi pembelajarannya. Perubahan serupa juga dilakukan pada beberapa mata kuliah yang lain.
Lebih lanjut, Prof. Syamsul mengatakan sebagai realisasinya beberapa lokakarya telah dilakukan sepanjang tahun 2007 dan awal 2008, baik untuk mempersiapkan pelaksanaan beberapa mata kuliah tertentu maupun proses pembelajaran pada umumnya. Kegiatan itu, tidak hanya memanfaatkan pakar dari dalam FIB sendiri dan lembaga lain di UGM, namun juga mengikutsertakan para pakar dari luar negeri, seperti Universiteit Leiden Belanda dan Oberlin College Amaerika Serikat.
“Semua itu dilakukan agar proses pembelajaran berjalan dengan baik dan mencapai standar mutu internasional yang telah dicanangkan UGM,” lanjutnya.
Sementara itu, Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil dalam orasi ilmiahnya bertajuk “Ilmuwan Budaya dan Revitalisasi Kearifan Lokal, Tantangan Teoritis dan Metodologis” mengungkapkan perlunya menggali kearifan-kearifan lokal Indonesia untuk dijadikan dasar bagi pembangunan dan pengembangan masyarakat berkelanjutan dan lebih lestari untuk berbagai situasi dan kondisi.
Bahwa kesadaran perlunya kearifan lokal mendapat perhatian lebih besar dari para ilmuwan, lantaran dipicu wacana global tentang kegagalan pembangunan di negara ketiga, dengan semakin merosotnya kualitas lingkungan alam, semakin cepatnya kepunahan pengetahuan-pengetahuan yang menjadi basis adaptasi berbagai komunitas lokal, serta adanya semacam kebutuhan akan jatidiri ditengah arus global.
“Dengan munculnya kesadaran baru tersebut, sebuah padang pengembaraan intelektual baru terbentang dihadapan kita. Adalah menjadi tugas para ilmuwan budaya untuk mengolah padang intelektual tersebut dan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya segala isi dan potensinya, serta menjadikannya menjadi sebuah taman ilmu pengetahuan dan sekaligus fondasi bagi pembangunan masyarakat di masa depan,” ungkap Heddy Shri Ahimsa-Putra. (Humas UGM)