Saat ini kemiskinan masyarakat desa hutan mencapai 10,2 juta jiwa. Hal itu disebabkan imbas pembangunan sektor kehutanan yang bersifat sentralistik, yang manfaatnya hanya dinikmati segelintir eli birokrat dan pemilik modal.
Konsep pemerataan pembangunan melalui trickle down effect tidak berjalan sempurna, masyarakat desa justru dari hari ke hari semakin termarginalisasi. Masyarakat desa makin tertinggal, baik di bidang pendidikan, kesehatan, perumahan permukiman dan ketersediaan fasilitas umum.
“Intinya, masyrakat kian terpinggirkan dengan atribut kemakmuran semu. Melalui pendekatan ilmu anthropologi terdapat dua skenario yang dapat dilakukan, yaitu pemberdayaan masyarakat melalui penguatan identitas dan sikap tanggap budaya,†ujar Martijo, Kamis (17/1) saat seminar Anthropologi dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan, di Pusat Studi Pedesaan Dan Kawasan (PSPK) UGM.
Melalui penguatan identitas, kata Murtijo, masyarakat desa hutan secara historis kultural memiliki karakteristik khas yang dianggap sebagai identitas bersama, yaitu sistim tata nilai dari budaya yang arif, kelembagaan lokal yang mengakar dan terikat oleh lingkungan sumber daya hutan.
Identitas bersama masyarakat desa hutan yang dibangun sejak beribu tahun lalu, dalam perkembangannya mengalami berbagai perubahan seiring terjadinya difusi budaya. Realita ini sungguh menjadi ancaman bagi punahnya masyarakat desa hutan.
“Atas dasar itu perlu dilakukan upaya untuk penguatan (revialitation) dari identitas bersama untuk mempertahankan eksistensi masyarakat desa hutan. Oleh karenanya selain penguatan sistim tata nilai budaya, maka guna eksistensi masyarakat desa hutan perlu upaya penghidupan kembali sistim kelembagaan lokal dan optimalisasi potensi sumber daya hutan,†jelas Murtijo.
Sementara sebagai sikap tanggap budaya, staf Yayasan Palma operasi Jabotabek ini menerangkan, masyarakat desa yang tinggal di dalam dan disekitar hutan tidak ada alasan untuk menutup diri dari pengaruh budaya luar. Konsep-konsep positif globalisasi harus segera disosialisasikan dan diaplikasikan dalam program pembangunan di masyarakat desa hutan.
Akulturasi konsep-konsep positif modernisasi dengan sistim budaya arif masyarakat diyakini akan mampu mewujudkan eksistensi masyarakat desa hutan. Akulturasi budaya arif masyarakat desa hutan dengan sistim tata nilai arif budaya modernisasi dan globalisasi diharapkan akan menciptakan suatu eksistensi masyarakat desa hutan yang tahan goncangan perubahan.
“Kuncinya terletak pada kesiapan peningkatan kualitas sumber daya manusia masyarakat desa hutan dan optimalisasi potensi sumber daya hutan yang ada di sekitar masyarakat,†tandas Murtijo.
Menurutnya, pemberdayaan masyarakat desa dan di sekitar dan dalam hutan harus menjadi sebuah program komprehensif, holistik, koordinatif dengan melibatkan multi stakeholder. “Karenanya pemberdayaan masyarakat desa hutan diarahkan pada program pemberdayaan yang adaptif terhadap sistim ekologi hutan, berbasis sistim sosial budaya masyarakat, produktif dan berorientasi pasar, membangun entrepreunership dan mewujudkan kelembagaan partisipatif,†tukasnya. (Humas UGM).