Perumahan dan Permukiman merupakan fenomena yang selalu berkembang dan berkelanjutan, karena mengikuti dinamika pertumbuhan penduduk, perkembangan ekonomi dan sosial masyarakat. Dengan melihat arti penting masalah perumahan dan permukiman, maka strategi pengembangan perumahan dan permukiman harus dilakukan secara mendasar dan komprehensif.
Menurut Prof. Ir. Atyanto Dharoko, M.Phil., Ph.D masalah pokok perumahan dan permukiman di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam aspek-aspek demografi, pengembangan wilayah termasuk penataan ruang, kelembagaan, pertanahan, pembeayaan, teknologi dan industri bahan bangunan, jasa kontruksi, perundang-undangan serta peran masyarakat.
Secara demografi, jumlah penduduk di perkotaan di Indonesia pada tahun 1985 kurang lebih 32% dari penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, di tahun 2005 telah meningkat menjadi 48%.
“Dikarenakan sekitar 60% penduduk Indonesia menetap di Jawa, hal ini tentu akan terjadi peningkatan intensitas pemekaran kota di Jawa dan akibatnya kekurangan terhadap jumlah rumah (housing backlog) di Jawa akan semakin kritis di masa depan,” ucap Toni Atyanto, Senin (10/3) di ruang Balai Senat UGM.
Wakil Rektor UGM Bidang Alumni dan Pengembangan Usaha menyampaikan hal itu saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Teknik UGM. Dosen Jurusan Teknik Arsitektur FT UGM ini, mengucap pidato “Perkembangan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Kota Di Indonesia”.
Dikatakannya, pembangunan perumahan dan pemukiman selalu menghadapi permasalahan pertanahan. Terlebih di daerah perkotaan terkait ketersediaan lahan yang terbatas. Bahkan dibeberapa kota, ketersediaan tersebut telah sangat kritis.
“Untuk mencukupinya, selalu menggunakan lahan pertanian dan lahan produktif lainnya. Dimana dalam lima tahun terakhir ini, secara nasional rata-rata konversi lahan pertanian mencapai 8000 hektar pertahun, dengan kecenderungan meningkat di setiap tahunnya,” katanya,
Dengan demikian, kata Toni Atyanto, harga tanah di perkotaan cenderung semakin mahal, sehingga pembangunan perumahan dan permukiman mengarah di daerah pinggiran kota dengan harga tanah yang relatif lebih murah. “Akibat lainnya, perkotaan tidak dapat lagi memberi pelayanan yang efisien dan terasa mahal bagi penghuninya. Lebih lanjut yang sering terjadi adalah sengketa tanah, pemanfaatan tanah secara ilegal, Sementara disisi lain, terbatasnya akses lahan bagi masyarakat miskin maka berkembanglah perumahan dan permukiman kumuh di perkotaan,” jelas Ketua Komisi SPMPT, Dewan Pendidikan Tinggi, Ditjen Dikti, Depdiknas ini.
Ketua Kantor Jaminan Mutu UGM (2000-2007) lebih lanjut mengungkapkan, masalah pembiayaan secara umum tertumpu pada terbatasnya kemampuan ekonomi masyarakat untuk memiliki rumah yang layak. Secara nasional persoalan pembiayaan adalah terbatasnya kemampuan pemerintah untuk mendukung pembiayaan pembangunan perumahan dan permukiman.
Perbankan mengalami kesulitan untuk menjadi lembaga intermediasi pembiayaan di bidang perumahan dan permukiman. Terbukti minimnya perbankan yang bersedia menyalurkan kredit untuk perumahan bersubsidi seperti rumah sederhana sehat (RSH) yang harganya dibawah Rp 50 juta.
“Sementara posisi kredit pemilikan apartemen (KPR/KPA) komersial per agustus 2007 lalu mencapai Rp 86 triliun lebih dibandingkan dengan BTN satu-satunya bank yang menyalurkan kredit RSH baru mencapai Rp 3,4 triliun,” lanjut Asisten Wakil Rektor Bidang Akademik UGM 1998-2002 ini.
Walaupun peningkatan pendapatan masyarakat secara umum meningkat, namun tingkat affordability masih rendah karena harga bahan bangunan dan tanah meningkat jauh lebih cepat. Keterbatasan sumberdaya pendanaan oleh pemerintah tidak mungkin dapat menjangkau subsidi secara besar-besaran untuk pengadaan perumahan untuk rakyat, oleh karena itu pengadaan perumahan dan permukiman tetap harus berbasis pada kemampuan masyarakat.
Aspek teknologi dan industri bahan bangunan, dinilai Toni Atyanto sebagai sarana yang sangat penting untuk meningkatkan pasokan perumahan dan permukiman. Teknologi yang tepat, harga dan kualitas bahan bangunan sangat menentukan untuk memproduksi perumahan dan permukiman skala besar.
“Teknologi harus mampu mengurangi biaya pembangunan sekaligus mampu menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Hingga saat ini teknologi dan industri bahan bangunan belum banyak berperan untuk menekan harga bangunan terutama kalau dilihat dari desain arstitektur, metoda pembangunan maupun harga yang dicapai,” tuturnya.
Sejumlah penelitian mengindikasikan bahwa perkembangan penduduk perkotaan memberikan tekanan yang besar terhadap kebutuhan perumahan dan permukiman. Kecenderungan ini sangat dirasakan di kota-kota besar dan menengah seperti Jakarta, Surabaya, Semarang dan Medan. Tekanan menjadi lebih berat lagi karena para pendatang membawa serta kemiskinan dan budaya yang kurang sesuai dengan sifat kehidupan kekotaan.
“Dari 55 juta unit rumah tangga perkotaan di Indonesia, lebih kurang 19,5 juta rumah tangga dikategorikan miskin. Sementara itu, 12,5 juta unit rumah tangga tinggal di rumah dibawah standard an 4,4 juta tinggal di perkmapungan kumuh, satu hal yang mengkhawatirkan 7,1 persen dari perumahan penduduk tinggal; di daerah rawan berbagai bencana,” jelas suami Endang Sukorini, S.H ini.
Ditegaskannya, jika pertanahan dan pendanaan adalah masalah yang paling krusial untuk pengembangan perumahan dan permukiman kota di Indonesia. Kedepan pemerintah semestinya mampu mengembangkan sistem bank tanah (land banking) yang dikuasai oleh sektor pemerintah agar lebih terkendali karena bank tanah yang dikuasai sektor swasta cenderung sulit dikendalikan.
Selain itu, pemerintah harus mampu memprioritaskan secara kongkrit sistem pendanaan perumahan dan permukiman nasional yang berpihak pada masyarakat berpenghasilan menengah kebawah, misalnya diintegrasikan dengan rencana pembentukan Bank Usaha Mikro Kecil (UKM) atau koperasi perumahan. “Kedua program strategis tersebut sukses dilaksanakan di negara-negara berkembang dalam mengatasi masalah perumahan dan permukiman,” tandas ayah Dyah Paramita dan Galuh Pramesti, yang juga dosen teladan Fakultas Teknik UGM tahun 1983 ini. (Humas UGM)