Yogya, KU
Sepuluh tahun pasca Reformasi, Pancasila sebagai dasar negara dan pemersatu bangsa tidak lagi menjadi acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan bagi mereka yang membicarakan pancasila seolah-olah dianggap tidak reformis. Kondisi ini dianalogikan oleh pengamat Pancasila UGM, Drs Mustofa Anshori Lidinillah MHum, ibarat suami yang sedang pisah ranjang dengan isterinya.
Demikian pandangan yang disampaikan Mustofa Anshori Lidinillah dalam Diskusi Panel Nasional ‘Pancasila dan Masa depan Bangsa’ yang diselenggarakan atas kerja sama Sekretariat Negara RI, Sekretariat Wakil Presiden RI dengan Fakultas Filsafat UGM di Gedung MM-UGM, Senin (28/4).
“Karena isteri (pancasila) sering difitnah, sehingga sang suami (negara) enggan meniduri isterinya atau bahkan memeluknya ke peraduan. Padahal hasrat cinta sang suami itu begitu besar dan menggebu-gebu kepada sang isteri,” kata Mustofa
Untuk melampiaskan hasrat cinta yang sudah menggebu tersebut, tandas Mustofa, sebaiknya dilakukan dalam kegiatan dan tindakan yang konkrit. Menurut wakil dekan bidang kemahasiswaan Fakultas Filsafat ini, tindakan tersebut dapat dilakukan dengan mencari metode yang tepat guna mengembalikan Pancasila sebagai Dasar Negara dan pemersatu bangsa serta sebagai acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sementara Guru besar UI, Prof Sri-Edi Swasono mengatakan, ditinggalkannya ideologi pancasila lebih disebabkan bangsa ini selalu terperangah atau terkagum-kagum dengan apa yang dikatakan ‘bule’ ketimbang apa yang digagas oleh bangsa sendiri. Termasuk tidak percaya terhadap produk ideologi Pancasila yang itu digali dan digagas oleh bangsa yang tak kalah briliannya dengan ideologi para ‘bule’ itu.
“Karena itu saya mengusulkan agar UU tentang Pendidikan di amandemen supaya bangsa ini tidak hanya mampu menghasilkan ‘kuli’ sehingga terjadi penjajahan di bidang ekonomi yang lebih dahsyat lagi,” ujar Prof Sri-Edi Swasono saat memaparkan makalah ‘Kerakyatan Demokrasi Ekonomi dan Pancasila’
Soal buku saja, menurut Prof Sri-Edi Swasono kalau yang menulis ‘bule’ tentu kita terkagum-kagum, menjadi pembicaraan di sana-sini, tetapi bila buku itu yang menulis dari bangsa sendiri, saudara, ‘sedulur dhewe’ malah tidak mau membaca.
“Boro-boro membaca, menyentuh saja kadang tidak ada waktu,” imbuh Prof Sri-Edi Swasono.
Tampak hadir dan menyampaikan makalah pendukung antara lain mantan Rektor UGM Prof Dr Sofian Effendi selaku Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia. Para dosen Fakultas Filsafat UGM Drs Rizal Mustansyir MHum, UGM Prof Dr Koento Wibisono Siswomihardjo, Drs Achmad Charris Zubair dan karyasiswa S-2 Program Pascasarjana Fakultas Filsafat UGM Alif Lukmanul Hakim SFil.
Dikatakan oleh Prof Kaelan, dalam sejarah negara Indonesia derivasi Pancasila dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan dapat dikatakan terjadi penyimpangan. Hal dimaksudkan, Pancasila bukan lagi diposisikan sebagai basis dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan melainkan sebagai dasar pembenaran suatu kekuasaan. Berbagai penyimpangan yang dilakukan pada masa lalu dengan cara sakralisasi.
“Namun yang lebih parah lagi Pancasila dijadikan sebagai sarana legitimasi politik. Pada masa Orba dan Orla terjadilah sakralisasi Pancasila sebagai dasar filsafat negara. Pancasila bukan dikembangkan sebagai dasar dalam mewujudkan cita-cita bersama bagi seluruh rakyat, melainkan sebaliknya Pancasila diposisikan sebagai mitos dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujar Prof Kaelan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)