Yogya, KU
Guru besar Fakultas Hukum UGM Prof Dr Sudjito bin Atmoredjo SH, MSi mengatakan, sampai saat ini persoalan filosofi pendidikan kenotariatan entah disadari atau tidak telah bergeser dari keinginan mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi ingin cepat kaya dan berjaya.
“Karena itu penyelenggaraan pendidikan kenotariatan harus berdasarkan visi dan misi yang jelas. Saya yakin semua penyelenggara pendidikan kenotariatan sudah merumuskan visi dan misi ini,” ujar Prof Sudjito dalam semiloka ’Kebangkitan Pendidikan dan Profesi Notaris dalam Upaya Mengangkat Martabat dan Kedaulatan Bangsa’ di Balai Senat UGM Bulaksumur, Jumat (16/5).
Semiloka dibuka Wakil Rektor Bidang Alumni dan Pengembangan Usaha UGM Prof Ir Toni Atyanto Dharoko MPhil. PhD ini diselenggarakan Magister Kenotariatan Fakultas Hukum (FH) UGM dan Ikatan Notaris Indonesia DIY. Sedianya menghadirkan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai pembicara kunci tetapi berhalangan hadir sehingga diwakilkan Asisten Pemerintahan Setda Propinsi DIY Prof Dr H Dahlan Taif SH, Msi.
Pada hari pertama menghadirkan pembicara Prof Hikmahanto Juwana SH, LLM, PhD dan Pro Sudjito dengan moderator dekan FH-UGM Prof Dr Marsudi Triatmodjo SH, sesi kedua Winanto Wiryomartani SH, MHum, LLM. Hari kedua dilaksanakan di Ruang Multimedia UGM Lantai 3 Bulaksumur menghadirkan pembicara Dr Syamsudin Manan Sinaga SH, MH dilanjutkan sidang kelompok dan diskusi, diakhiri rumusan hasil sidang.
Lebih lanjut dikatakan Prof Sudjitom dan misi bukanlah dokumen yang final. Perlu ada upaya terus menerus untuk mereaktualisasikannya. Keriteria visi yang baik, disusun berdasarkan perkiraan masa yang akan datang dalam kurun waktu tertentu yang realistik dan spesifik dari analisis yang seksama mengenai kecenderungan dalam pengembangan Iptek, dunia usaha, industri dan masyarakat nasional dan global.
“Rumusan visi yang baik itu perlu diikuti dengan rumusan misi yang baik pula, yaitu suatu rumusan yang sangat jelas dan lengkap dengan mengemukakan upaya yang dapat dilakukan untuk merealisasikan visi program studi. Dengan demikian di antara komponen filosofi, visi dan misi terjalin adanya hubungan yang berkesesuaian, jelas dan melengkapi,” ujar Prof Sudjito.
Dijelaskan oleh akadmeisi FH-UI Jakarta Prof Hikmahanto Juwana, sebagai pendidikan hibrida, program pendidikan magister kenotariatan (MKn) menghadapi sejumlah tantangan yang harus dijawab oleh para pemangku kepetingan. Antara lain, mengubah sistem belajar mengajar yang dapat disesuaikan dengan pendidikan profesi pada umumnya. Sementara, pendidikan profesi saat ini sangat menggunakan sistem komunikasi dua arah dan penerapan Problem based learning (PBL).
“Harus diakui pengajaran di kebanyakan program MKn masih satu arah didasarkan catatan dari para pengajarnya. Infrastruktur dapat dibuat memadai untuk pendidikan profesi. Pendidikan profesi membutuhkan infrastruktur yang berbeda dengan pendidikan akademis,” kata Hikmahanto Juwana. (Humas UGM/Gusti Grehenson)