Yogya, KU
Indonesia sebagai salah satu negara besar di Asia merupakan konsumen rokok tertinggi kelima di dunia dengan jumlah batang rokok yang dikonsumsi setiap tahun sebanyak 178,3 miliar, setelah Cina 1297,3 miliar batang, AS 462,5 miliar batang, Rusia 375 miliar batang, Jepang 299,1 miliar batang.
Selama 30 tahun, memang terjadi peningkatan yang cukup tajam terhadap konsumsi rokok, dari sebelumnya 33 miliar batang per tahun di tahun 1970, meningkat tujuh kali lipat hinnga 217 miliar di tahun 2000. Walaupun peningkatan prevalensi merokok ini merupakan fenomena umum di negara berkembang, namun prevalensi merokok di kalangan laki-laki dewasa di Indonesia termasuk yang sangat tinggi.
Namun yang lebih mengkhawatirkan, seiring meningkatnya prevalensi merokok maka akan diikuti semakin besarnya jumlah angka penduduk miskin. Sebab, kemiskinan dan merokok merupakan dua hal yang saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain. Seseorang yang membakar rokok tiap hari berarti telah kehilangan kesempatan untuk membeli kebutuhan esensial bagi anak dan keluarganya. Terutama dampak rokok pada pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan anak, sehingga kapasitas untuk hidup lebih baik di usia dewasa menjadi sangat terbatas. Selain itu, kemungkinan besar sang ayah memiliki risiko lebih cepat meninggal karena penyakit yang berhubungan dengan kebiasaan merokok.
Hasil penelitian 2006 di Yogyakarta misalnya, menunjukkan masyarakat miskin membelanjakan pendapatan untuk rokok dalam jumlah yang relatif lebih tinggi dibandingkan pengeluaran kesehatan dan pendidikan. Kebutuhan pengeluaran per bulan untuk rokok sebesar 13,21 persen lebih besar dari kebutuhan kesehatan (3,52 persen) dan pendidikan (3,42 persen).
Menurut Pakar Kesehatan dari Fakultas Kedokteran UGM Prof Dr dr Laksono Trisnantoro, hal ini terjadi akibat belum adanya kebijakan pemerintah untuk berusaha mengurangi merokok secara tegas. Apalagi dalam kondisi ekonomi saat ini, kebijakan untuk mengurangi perputaran ekonomi dalam rokok merupakan pilihan sulit bagi pemerintah.
“Pemerintah masih menganggap kebiasaan merokok di masyarakat memberikan manfaat ekonomi yang sangat besar. Pendapatan negara dari rokok sebesar 32 triliun di tahun 2005, ini menunjukkan besarnya pendapatan dari cukai tembakau,” kata Laksono dalam Diskusi Multidisiplin ‘Kontroversi Kebijakan Rokok’, Sabtu (31/5) di Balai Senat UGM.
Manfaat besar secara ekonomi dari rokok ini menurut Laksono selama ini tidak mempertimbangkan kerugian besarnya biaya di masa depan yang tidak diperhitungkan, diantaranya besarnya biaya pengobatan berbagai penyakit akan timbul di masa mendatang dalam 25-40 tahun, produktifitas perokok yang menurun akibat penurunan fungsi paru dan peredaran darah serta kondisi fisik yang tidak fit.
Selain menimbulkan efek bagi perokoknya sendiri, akan muncul efek negatif dalam penurunan jumlah turis yang tak menyukai rokok untuk berkunjung ke Indonesia, penurunan kesehatan perokok pasif, dan penurunan asupan gizi bagi anak-anak karena terdesak belanja rokok.
“Kebijakan merokok di Indonesa saat ini belum etis, masih banyak pihak yang dirugikan dengan kebijakan merokok saat ini, termasuk dalam hal ini generasi muda bangsa dimana penyakit yang akan mendatang tidak diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan,” tukasnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Pakar Kebijakan Publik UGM Prof Dr Muhadjir Darwin, menurutnya kebiasaan merokok saat ini terlihat cenderung meluas dilihat dari semakin mudanya awal usia merokok dan bertambahnya perokok perempuan.
“Ini berarti implikasi ekonomi dan kesehatan dari perilaku merokok akan semakin besar jika tidak ada upaya-upaya serus untuk melakukan sosialisasi tentang bahaya rokok, kontrol yang ketat terhadap pemasaran dan iklan rokok dan pembatasan yang tegas terhadap perilaku merokok di tempat-tempat publik,” tegasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)