Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM selama dua hari, 27-28 Juni 2008 menyelenggarakan “Konferensi Administrasi Negara”. Sebanyak 70 dosen/peneliti dan 20 mahasiswa bidang administrasi negara berkumpul di acara ini.
Mereka mempresentasikan 15 makalah yang terbagi dalam empat tema besar : reformasi birokrasi, manajemen pelayanan, good governance serta pemilihan umum, partisipasi dan netralitas birokrasi. Konferensi yang dibuka Wakil Dekan Bidang Administrasi dan Keuangan Drs Hadriyanus Suharyanto MSi ini menghadirkan sejumlah pembicara diantaranya Prof Miftah Thoha PhD (UGM), Drs Bintoro Wardiyanto MSi (UNAIR), Dr Ali Rokhman (UNSOED) dan Mohammad Nuh SIP MSi (UNIBRAW).
Guru Besar Ilmu Pemerintahan UGM Prof Miftah Thoha tampil pertama di sesi pembuka. Ia katakan struktur organisasi negara Indonesia saat ini sangatlah gemuk. Hal itu menyebabkan jalannya pemerintahan tidak efektif dan cenderung pada pemborosan sumberdaya negara.
Kabinet SBY-JK yang berjumlah 35 menteri dinilainya terlalu besar. Terlebih jika dibandingkan Malaysia yang hanya dipunggawai 18 menteri, Thailand 13, AS 15 dan Jepang 18 menteri.
“Terlihat kedodorannya organisasi negara kita itu, masih ditambah dengan 26 lembaga non departemen dan 70 komisi. Jadi administrasi negara kita besar, tapi tidak menyelesaikan masalah publik,” ujarnya Sabtu (28/6) di kampus UGM.
Sementara, Mohammad Nuh (UNIBRAW) mengusulkan agar konferensi membentuk kelompok kerja untuk mendorong inovasi-inovasi pelayanan publik pada khususnya dan governance pada umumnya. “Salah satunya adalah dengan memberikan innovative award kepada instansi pemerintah ataupun organisasi masyarakat yang memberikan pelayanan yang bagus kepada publik,” katanya mengusulkan.
Menurut ketua panitia Dr Samodra Wibawa, konferensi semakin seru setelah sesi satu ditutup. Karena setelah itu, sesi kedua peserta konferensi dibagi menjadi tiga kelompok untuk masing-masing membahas empat makalah. Diantaranya beberapa makalah relatif baru, seperti konsep social marketing dan konsumerisme dalam pelayanan publik, dan beberapa bersifat menggugat, seperti makalah berjudul “Quo Vadis Governance?”.
“Seperti kemenangan calon independen dalam pilkada juga dikupas pada sesi ini,” ujar Samodra.
Diakuinya, konferensi Konferensi ini tidak mengundang pejabat ataupun pakar tertentu secara khusus untuk menyampaikan makalah seperti yang dijumpai diseminar pada umumnya, melainkan mempersilakan semua dosen dan peneliti administrasi negara untuk menulis makalah, “melaporkan” penelitian atau pemikiran mereka yang terbaru kepada sesama dosen/peneliti maupun publik.
“Hanya mereka yang menulis makalah yang boleh hadir dalam acara ini,” akunya.
Bahkan panitia tidak berencana untuk merumuskan suatu rekomendasi atau memorandum kebijakan terhadap berbagai isu publik mutakhir. Meski begitu, kata Samodra, setiap makalah pada dasarnya telah mengandung sumbang saran pemikiran yang dapat digunakan oleh pemerintah maupun publik pada umumnya untuk merumuskan kebijakan yang tepat.
“Memang tidak semua tema makalah menarik perhatian publik saat ini, khususnya media. Namun semua tema sangat penting untuk dibahas guna perbaikan dan penguatan negara dalam mengemban fungsinya melayani seluruh warga,” tambahnya.
Diakhir acara, Samodra berharap forum konferensi semacam ini dapat dilakukan sekali dalam satu atau dua tahun di berbagai kota secara bergiliran. (Humas UGM)