Yogya, KU
Pentingnya mengurangi besarnya kerugian yang ditimbulkan akibat bencana, terutama pasca bencana tsunami di Aceh 2004, Gempa bumi di Jogja dan sumatera barat serta Bengkulu tahun 2006 dan 2007, maka pemerintah telah mengalokasikan dana sedikitnya 1,2 triliun dalam program pengurangan risiko bencana di tahun 2008, padahal sebelumnya di tahun 2007 pemerntah hanya mengalokasikan sebesar 150 milyar.
“Pemerintah kini mulai menyadari pentingnya program pengurangan risiko bencana, sebab selama ini paradigma penanggulangan bencana berorientasi pada penanganan kedaruratan dan pasca bencana, tidak ke arah pengurangan risiko bencana,” ujar Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tetinggal dari Kementerian Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Dr Suprayoga Hadi, dalam workshop “Strategi Pengurangan Risiko Bencana Kebumian”, Rabu (27/8) di Graha Sabha Pramana UGM.
Menurut Suprayoga, perhatian yang lebih besar terhadap perlunya perluasan upaya penanggulangan bencana ini tidak lagi sekedar tindakan reaktif namun lebih memperhatikan tindakan preventif melalui kesiapsiagaan dan mitigasi bencana.
Upaya pemerintah ini, menurutnya, sangat signifikan mengingat tingkat kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan pasca bencana gempa bumi di Yogyakarta mencapai 29,2 triliun sementara bencana tsunami di Aceh sebelumnya mencapai 48 triliun.
Khusus DIY sendiri, katanya, selama dua tahun ini pemerintah pusat telah memobilisasi dana untuk rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan, prasarana publik dan dukungan bagi pemulihan ekonomi sejumlah 5,8 triliun dari total yang dialokasikan sejumlah 7,8 triliun rupiah yang merupakan gabungan kontribusi dana dari APBN, APBD, LSM dan Donor Internasional.
“Meskipun rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan dan prasarana publik telah dinyatakan selesai, pemulihan ekonomi di DIY masih memerlukan perhatian dan upaya yang lebih panjang,” katanya.
Suprayogo secara terang-terangan mengaku kagum terhadap proses pelaksanaan program rehabilitasi dan rekontruksi terhadap 280 ribu lebih rumah yang rusak di DIY dan Jateng yang dapat dibangun kembali dalam tempo kurang lebih dari dua tahun, padahal imbuhnya, pembangunan untuk 120 ribu rumah pasca tsunami di Aceh saja belum kelar hingga sampai sekarang ini.
“Rumah yang rusak di Aceh hanya separohnya dari DIY, namun sampai sekarang ini belum juga selesai, meskipun kita tahu di Aceh sendiri banyak sekali dana donor yang masuk, saat ini saja ada sekitar 90 juta dollar dana donor yang belum bisa dihabiskan,” ungkapnya.
Sementara pakar Geologi UGM Dr Ir Dwikorita Karnawati dalam presentasinya dalam workshop bencana tersebut mengungkapkan bahwa bencana longsor merupakan salah satu bencana yang paling sering terjadi di Indonesia terutama pada musim hujan. Sejak tahun 2001 hingga saat ini, kata Dwikorita, tercatat lebih dari 36 kejadian longsor dengan memakan korban 1226 jiwa meninggal dan 4044 rumah rusak dan tertimbun.
“Dikhawatirkan kejadian longsor akan semakin meningkat di tahun-tahun mendatang, akibat makin terusiknya lahan-lahan rentan longsor oleh kegiatan pembangunan yang kurang berwawan lingkungan,” katanya.
Dwikorita menegaskan, kurang lebih 60 persen wilayah daratan di Indonesia merupakan daerah rentan longsor karena merupakan rangkaian gunung api, pegunungan dan perbukitan berlereng curam yang tersusun oleh batuan lapuk.
Menurutnya, perlu adanya sistem peringatan dini terpadu yang sederhana berbasis pemberdayaan masyarakat yang dipasang pada lokasi rentan dan rawan longsor. Sistem peringatan dini ini berupa alat extensometer manual dengan anglemeter yang dipakai untuk mengukur gerakan relatif tanah yang dipasang di lokasi retakan.
“Alat ini dapat diatur untuk memicu bunyi sirine setelah gerakan relatif mencapai suatu jarak tertentu,” katanya.
Diakui Dwikorita, sistem ini bahkan telah teruji dan terbukti mampu mendeteksi dini longsoran yang terjadi di desa Kalitelaga, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah pada tanggal 8 Nopember 2007 lalu.(Humas UGM/Gusti Grehenson)